Sabtu, 09 Juli 2016

Siti Asiyah, Pengumpul Koran Bekas yang Berhasil Sekolahkan Anak hingga Magister


http://www.jawapos.com/imgs/2016/07/38409_56812_Metro%201_5%20box.jpg
Kasih Ibu : Siti Asiyah saat mengumpulkan koran bekas di Masjil Al Akbar Surabaya 
Selalu Memantau Beasiswa Pendidikan, Tunggui Anak Bersekolah meski Kehujanan.

Demi pendidikan anaknya, Siti Asiyah banting tulang sendirian. Perjuangannya sungguh luar biasa hingga putri bungsunya meraih penghargaan dan mendapat gelar magister di bidang bioteknologi.

LANTUNAN takbir dan bacaan Al Fatihah dari imam membawa suasana khusyuk ribuan jamaah yang melaksanakan salat Id di Masjid Al Akbar Surabaya Rabu (6/7). Saking banyaknya jamaah, pelataran utara masjid disulap menjadi tempat salat. Jamaah yang beralas koran lantas melapisinya dengan sajadah. Setelah salam terucap dan khotbah diakhiri, gema takbir kembali berkumandang mengiringi para jamaah meninggalkan area masjid.

Beberapa di antara mereka ber-selfie dengan latar belakang masjid terbesar di Jawa Timur itu.

Di tengah keriuhan para jamaah, seorang ibu paro baya dan seorang pria terlihat sedang memilah koran bekas alas salat.

Mereka selanjutnya melipatnya ke dalam satu susunan. Saat didatangi Jawa Pos, raut terkejut dan ketakutan langsung terlihat di wajah perempuan itu.

Dia bergegas siap-siap meninggalkan area pelataran sambil membawa tas kresek berisi koran bekas yang dia kumpulkan.

”Saya takut kalau dilarang satpam ngambilin koran bekas ini. Makanya, saya ngambil dikitsaja,” ujarnya dengan nada agak terbata karena mengira yang mendatanginya adalah petugas keamanan masjid.

Ibu yang kemudian diketahui bernama Siti Asiyah itu memang sudah bertahun-tahun berkeliling masjid besar di Surabaya.

Dia mengais koran bekas alas salat. Baik pada event salat Idul Fitri maupun Idul Adha. Saat mengambil koran bekas, Siti terlebih dahulu menyeleksinya. Dia akan memilih koran yang masih kering, bersih dari kotoran, dan tidak terlalu kusut.

”Soalnya, mau dijual ke pracangan (warung sayur, Red) untuk bungkus bawang, cabai, atau bahan dapur lain,” jelas perempuan yang saat itu memakai kerudung dan setelan baju ungu tersebut.

Ditemani putra keduanya, Agus Syaiful Huda, Siti menjual koran bekas seharga Rp 4 ribu per kilogram.

Memang, harga itu tidak sebanding dengan jauhnya perjalanan dari rumahnya di Driyorejo, Gresik, serta usahanya untuk memilah dan mengambil koran secara diam-diam.

Meski demikian, Siti berprinsip tidak ada usaha yang sia-sia. Rezeki akan datang dari mana saja, termasuk dari hal kecil seperti mengumpulkan koran bekas alas salat.

Buktinya, dengan kondisi yang serbakurang serta berstatus single parent, dia berhasil menyekolahkan tiga anaknya.

Si sulung lulus SMA, anak kedua berhasil lulus D-3, dan anak bungsunya berhasil lulus S-2. Anak bontotnya itu sempat menjadi dosen di universitas swasta ternama di Surabaya.

”Saya hanya ingin anak saya bersekolah setinggi-tingginya agar tidak seperti saya dulu,” ucap ibu yang menggemari Presiden Rusia Vladimir Putin dan mantan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad itu. Pada masa kecilnya, Siti memang tidak pernah mengenyam bangku sekolah.

Dia ingat betul betapa sedihnya ketika anak-anak lain bersekolah, sementara dirinya menjadi buruh tani di sawah.

Dia harus membantu orang tuanya. ”Saya ingin bersepatu dan sekolah kayak anak lainnya, tetapi orang tua tidak memiliki biaya,”  kenangnya.

Akibat pendidikan yang kurang, Siti hidup serbasulit hingga dewasa. Keadaan semakin buruk saat dia berpisah dari suami ketika anak bungsunya masih kelas II SD.

Alhasil, Siti merawat tiga anaknya seorang diri. Meksi demikian, keinginan untuk tetap menyekolahkan anaknya sangat besar. Dia bekerja apa pun, asalkan halal.

Siti menjelaskan, dirinya pernah mengais limbah parutan kayu untuk digunakan sebagai bahan bakar. Dia juga bekerja sebagai tukang cuci meski dibayar murah. Bahkan, mengais sisa-sisa buah dan sayuran di pasar untuk diolah menjadi kompos.

”Pokoknya, yang penting anak tetap sekolah dan bisa makan untuk besoknya,” ujar perempuan asal Kalitidu, Bojonegoro, itu. Bekerja serabutan lantas bisa menyekolahkan anak, bahkan sampai S-2, tentu membingungkan sebagian orang.

Kuncinya ada pada kegigihan dalam bekerja dan mencari setiap kesempatan. Sebagai contoh, perjuangannya saat menyekolahkan anak bungsunya, Yusnita Liasari, hingga S-2.

Yusnita yang lahir dalam keadaan serba susah diasuh Siti dengan penuh ketelatenan. Selama sekolah, Yusnita menjadi anak yang rajin serta pintar. Tak heran, banyak penghargaan yang diraihnya, mulai bangku SD hingga kuliah.

”Dia (Yusnita, Red) sering mendapat beasiswa dan diterima di sekolah unggulan. Mengenai biayanya, alhamdulillah saya selalu bisa mengumpulkan,” bebernya. Support yang diberikan Siti bukan hanya materi. Misalnya, saat Yusnita bersekolah di SMAN 2 Surabaya 16 tahun lalu.

Dia sendiri yang mengantar putrinya naik kereta api dari Stasiun Krian menuju Surabaya. Siti juga selalu menunggui putrinya hingga sekolah selesai di pelataran rumah orang. ”Ya, kehujanan ya kedinginan, semua demi anak,” kenang perempuan kelahiran 29 November 1959 tersebut, lalu tersenyum mengingat masa-masa itu.

Setelah jam sekolah berakhir, Yusnita dan Siti tidak langsung pulang. Dia mengajak anaknya ke RSUD Soetomo dengan berjalan kaki. Yusnita memang menggemari pelajaran biologi dan kesehatan. Di rumah sakit itu, Siti menunjukkan bagaimana penanganan korban kecelakaan sejak turun dari ambulans hingga masuk ICU.

Mereka juga kerap membaca buletin kesehatan yang terpampang di area rumah sakit. Memasuki masa kuliah pada 2002, Yusnita diterima di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang.

Untuk menyambung hidup putrinya di Malang, perempuan 56 tahun itu tidak pernah absen memantau beasiswa. Dia secara langsung mendatangi pameran pendidikan, baik yang diadakan dinas pendidikan maupun swasta.

”Sering ngobrol sama pengusaha dan tanya-tanya beasiswa. Alhamdulillah, kami sering dapat,” ungkapnya. Usaha ibunya sebanding dengan prestasi sang anak yang terus meningkat. Yusnita selalu mendapat predikat mahasiswa terbaik dan kerap memenangi ajang program kreatif mahasiswa (PKM).

Yusnita juga menjadi penerima beasiswa terbaik sebuah perusahan rokok ternama. Tak puas sang anak hanya lulus S-1 yang ditempuh dalam waktu empat tahun pada 2006. Siti terus mendorong Yusnita agar mengambil program S-2 pada 2007. Dia selalu menyakinkan pasti ada biaya. Termasuk keperluan praktik yang tentu tidak murah.

Lagi-lagi, Yusnita mampu membuktikan dirinya memang pantas melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Penghargaan demi penghargaan selalu dia rengkuh.

Bahkan, seabrek penghargaan itu dihadirkan Siti saat Jawa Pos berkunjung ke rumahnya di Desa Lopang, Driyorejo, Gresik.

Termasuk penghargaan yang berhasil memukau peneliti Jepang dan Malaysia. Yusnita meraih cum laude dengan tesis yang membahas bakteri mutan penghasil listrik pada 2009.

”Bangganya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata,” ucapnya dengan berlinang air mata. Sebenarnya, Siti bisa saja menyekolahkan anaknya hingga S-3. Sebab, dia telah mengantongi persetujuan beasiswa dari sebuah universitas di Amerika Serikat.

Terlebih, tesis mengenai bakteri mutan itu sungguh menarik untuk dilanjutkan dari kajian akademis. Namun, anaknya memilih untuk bekerja sebagai asisten dosen di salah satu universitas swasta ternama di Surabaya.

Meski telah melahirkan seorang peneliti hebat di bidang bioteknologi, Siti tetap bersahaja. Di rumahnya yang sangat sederhana, terdapat banyak buku yang kadang dia baca.

Kini hidupnya akan dihabiskan untuk mengenang perjuangan menghidupi buah hatinya seorang diri. ”Termasuk dengan mencari koran bekas alas salat di Masjid Agung (sebutan lain Masjid Al Akbar, Red) yang membawa memori pada saat itu,” kata perempuan yang mengaku selalu membaca Jawa Pos tersebut.