Rabu, 31 Agustus 2016

Syarat Domisili Calon Kepala Desa Melanggar Konstitusi

http://images.hukumonline.com/frontend/lt57bc2767ef821/lt57bc28c28e2be.jpg
Gedung Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus aturan syarat domisili calon kepala desa dan perangkat desa lewat pengujian Pasal 33 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf c UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Alasannya, kedua pasal yang dimohonkan Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (APDESI) dinilai inkonstitusional atau bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.

Majelis tegas menyatakan Pasal 33 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf c UU Desa bertentangan dengan UUD 1945. “Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tegas Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 128/PUU-XIII/2015 di Gedung MK, Selasa (23/8).

Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (APDESI) dan dua warga mempersoalkan syarat pencalonan kepala desa dan perangkat desa lewat pengujian Pasal 33 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf a dan c UU Desa. Pasal-pasal itu mengharuskan calon kepala desa berdomisili minimal setahun di desa yang bersangkutan dan syarat perangkat desa berpendidikan minimal sekolah menengah umum (SMU).

Kedua persyaratan itu dianggap diskriminatif karena telah menutup kesempatan para pemohon berkontribusi menjadi kepala desa atau perangkat desa. Sebab, sebagian besar anggota pengurus APDESI di wilayah Lampung masih banyak yang berpendidikan sekolah menengah pertama (SLTP) dan bermigrasi atau merantau ke daerah lain untuk mengembangkan diri. Salah satunya, pemohon M. Syahrudin, digugurkan pencalonannya sebagai kepala desa lantaran belum setahun tinggal di Desa Bumi Agung, Lampung Utara.

Mahkamah menilai pemilihan kepala desa secara langsung oleh masyarakat desa dan pengangkatan perangkat desa tanpa mensyaratkan harus berdomisili di desa setempat bersesuaian dengan semangat Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.Beleid ini menyebutkan "Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.”

Menurut Mahkamah masyarakat perdesaan di Indonesia dapat dibedakan antara masyarakat desa dan masyarakat adat. Status desa dalam UU Desa justru kembali dipertegas sebagai bagian tak terpisahkan dari struktur organisasi pemerintahan daerah. Produk peraturan desa pun ditegaskan sebagai bagian peraturan perundang-undangan yang melaksanakan fungsi pemerintahan. Artinya, desa menjadi kepanjangan tangan terbawah dari fungsi-fungsi pemerintahan negara secara resmi.

“Karena itu, sudah seyogyanya pemilihan kepada desa dan perangkat desa tidak perlu dibatasi dengan mensyaratkan calon kepala desa atau calon perangkat desa harus ‘terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di desa setempat paling kurang 1 tahun sebelum pendaftaran’,” ucap Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati membacakan pertimbangan putusan.

Bagi Mahkamah, alasan ini sejalan dengan  rezim Pemerintahan Daerah dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak memberikan batasan dan syarat terkait dengan domisili atau terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di daerah setempat.

Terkait petitum para pemohon atas pengujian konstitusional Pasal 50 ayat (1) huruf a UU Desa mengenai syarat pendidikan bagi perangkat desa, karena tidak diuraikan argumentasinya di dalam posita permohonannya, maka permohonan ini tidak dipertimbangkan lebih lanjut. “Permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.”

Kuasa Hukum Pemohon,Gunawan Raka mengapresiasi putusan MK ini karena telah menghapus syarat calon kepala desa dan perangkat desa yang harus berdomisili minimal satu tahun di desa yang bersangkutan. “Memang banyak warga desa yang merantau, tetapi begitu dicalonkan sebagai kepala desa, balik lagi ke desa dia,” kata Gunawan.

Namun, kata dia, syarat calon perangkat desa minimal berpendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU) tidak dikabulkan MK. Faktanya banyak desa yang menjabat Ketua RT dan Kepala Urusan (Kaur) masih berpendidikan SD/SMP. “Secara struktural mereka tetap jalan, karena tidak di-SK-kan kepala desa atau camat. Sebab, kalau di-SK-kan malah bertentangan dengan UU Desa. Tetapi, kita hormati putusan ini,” katanya.

Sumber http://www.hukumonline.com/