Sabtu, 18 September 2021

Ayo Peduli Partisipasi dan Peduli Cegah Stunting

ilustrasi
www.kemlagi.desa.id - Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar (PB/U atau TB/U). Tinggi badan hanya penunjuk fisik, namun dampak lain yang tak kalah mengkhawatirkan dari stunting adalah hambatan perkembangan kognitif dan motorik serta gangguan metabolik pada saat dewasa sehingga berisiko menderita penyakit tidak menular. 

Banyak orang berpikir bahwa tinggi seorang anak bergantung pada faktor genetik (keturunan) dan tidak banyak yang dapat dilakukan untuk mencegah atau memperbaikinya. Padahal, stunting disebabkan karena seseorang tidak mendapatkan asupan bergizi dalam jumlah yang tepat pada jangka waktu yang lama (kronik). 

Sehingga, stunting sebenarnya dapat dicegah dengan asupan gizi yang memadai, terutama pada 1000 Hari Pertama Kehidupan. Secara global, stunting berkontribusi sebesar 15-17 persen pada kasus kematian anak. Anak yang stunting akan mengalami kesulitan belajar sehingga kurang berprestasi di sekolah dan kurang produktif saat dewasa. 

Stunting dapat menurunkan penghasilan sebanyak 20 persen. Hal ini menjadikan mereka tidak bisa mendapatkan penghasilan yang cukup sehingga terus berada dalam kemiskinan. Angka stunting yang besar di Indonesia merupakan masalah serius. 

Artinya, negara memiliki jutaan anak kurang gizi yang kesulitan berprestasi di sekolah serta kurang mampu mendapatkan cukup penghasilan saat dewasa sehingga sulit berkontribusi untuk membangun ekonomi bangsa. Oleh karena itu, stunting menjadi salah satu ancaman serius bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan Indonesia. 

Data Stunting 

Saat ini 1 dari 3 anak Indonesia mengalami stunting (30,8 % berdasarkan Riskesdas 2018 dan 27,67% berdasarkan SSGBI 2019). Meskipun sudah mengalami penurunan dari angka 37,2% di tahun 2013, namun pemerintah menargetkan persentase stunting dapat turun menjadi 14% di tahun 2024. 

Data stunting dalam bentuk peta interaktif dapat diakses di Database Kesehatan Indonesia hasil Kerjasama Bappenas dengan Unicef. 

Bagaimana Cara Mencegahnya ? 

Intervensi untuk menanggulangi permasalahan gizi terbagi menjadi gizi spesifik (langsung) dan gizi sensitif (tidak langsung). Intervensi gizi spesifik (langsung) digunakan untuk menangani penyebab-penyebab langsung terjadinya kurang gizi. 

Kebanyakan dari intervensi ini dilaksanakan oleh sektor kesehatan dan meliputi konseling ASI, makanan pendamping ASI dan makanan selama kehamilan, pemberian vitamin dan mineral, penanganan balita gizi buruk, dan intervensi untuk mencegah dan mengobati infeksi seperti misalnya diare, cacingan dan malaria. 

Intervensi gizi sensitif (tidak langsung) digunakan untuk menangani penyebab tidak langsung terjadinya kurang gizi, seperti ketahanan pangan rumah tangga, air dan sanitasi serta kemiskinan. Intervensi-intervensi ini dilaksanakan melalui berbagai sektor seperti misalnya pertanian, kelautan dan perikanan, kesehatan, pendidikan, perdagangan dan industri, pekerjaan umum, dan kesejahteraan sosial. 

Upaya penurunan stunting dilakukan melalui dua intervensi gizi, yaitu intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Intervensi spesifik merupakan kegiatan yang langsung mengatasi penyebab terjadinya stunting dan umumnya diberikan oleh sektor kesehatan seperti asupan makanan, pencegahan infeksi, status gizi ibu, penyakit menular dan kesehatan lingkungan. 

Sementara itu, intervensi sensitif merupakan kegiatan yang berhubungan dengan penyebab tidak langsung stunting yang umumnya berada di luar kewenangan Kementerian Kesehatan. Dalam penanggulangan permasalahan gizi, intervensi sensitif memiliki kontribusi sebesar 70 persen sementara intervensi spesifik menyumbang sekitar 30 persennya (Lancet, 2013). 

Selain dua hal tersebut, diperlukan juga faktor pendukung yang memungkinkan terjadinya penurunan stunting seperti komitmen politik dan kebijakan, keterlibatan pemerintah dan lintas sektor serta kapasitas untuk melaksanakan intervensi yang ada. 

Intervensi Spesifik 

Intervensi spesifik merupakan kegiatan yang langsung mengatasi penyebab terjadinya stunting dan umumnya diberikan oleh sektor kesehatan seperti asupan makanan, pencegahan infeksi, status gizi ibu, penyakit menular dan kesehatan lingkungan. 

Terdapat 9 poin intervensi gizi spesifik, yaitu: Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dilakukan kepada ibu hamil yang mengalami Kurang Energi Kronik (KEK). Identifikasi dilakukan dengan cara mengukur Lingkar Lengan Atas (LILA) dan dinyatakan berisiko apabila LILA kurang dari 23,5 cm. 

Ibu yang mengalami KEK berisiko untuk melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR). Sehingga, untuk mencukupi kebutuhan gizi ibu hamil KEK diberikan Makanan Tambahan Ibu Hamil. Sementara itu, PMT Balita diberikan pada balita kurus usia 6-59 bulan yang indikator Berat Badan (BB) menurut Panjang Badan (PB)/Tinggi Badan (TB) kurang dari minus 2 standar deviasi (<- 2 SD) yang tidak rawat inap dan tidak rawat jalan. 

Remaja putri (rematri) rentan menderita anemia karena banyak kehilangan darah pada saat menstruasi. Remaja yang menderita anemia berisiko tinggi untuk mengalami anemia pada masa kehamilannya. Hal ini akan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan janin serta berpotensi menimbulkan komplikasi kehamilan dan persalinan. 

Oleh karena itu, remaja dan wanita usia subur (WUS) perlu meminum Tablet Tambah Darah (TTD) sebanyak satu kali dalam seminggu. Sementara, ibu hamil mengkonsumsi TTD sebanyak 90 tablet atau lebih selama masa kehamilannya untuk mencegah anemia saat hamil. 

Untuk mencegah stunting, terdapat standar ideal (golden standard) yang direkomendasikan oleh WHO, yaitu: (1) pemberian ASI eksklusif sejak bayi lahir sampai usia 6 bulan; (2) pemberian MP-ASI mulai usia 6 bulan; dan (3) lanjutan pemberian ASI sampai bayi berusia 2 tahun atau lebih. 

Pemberian ASI eksklusif (bayi diberikan ASI saja tanpa tambahan apapun) pada bayi usia 0-6 bulan sangat penting tidak saja untuk meningkatkan status gizi tetapi juga untuk kelangsungan hidup (survival) bayi. Untuk itu, diperlukan promosi dan edukasi untuk memberikan ASI eksklusif melalui berbagai cara baik pertemuan langsung (konseling menyusui oleh tenaga kesehatan terlatih) maupun promosi di media massa cetak dan elektronik. 

Pemberian ASI Eksklusif diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012. Setelah pemberian ASI secara eksklusif selama usia 0-6 bulan, selanjutnya bayi mulai dikenalkan dengan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dengan tetap memberikan ASI lanjutan sampai dengan usia 2 tahun atau lebih. 

Pemberian MP-ASI mulai usia 6 bulan menjadi sangat penting mengingat pada usia 6-11 bulan kontribusi ASI pada pemenuhan  kebutuhan gizi hanya dua per tiga sedangkan sepertiganya harus dipenuhi dari MP-ASI. Seiring bertambahnya usia, kehadiran MP-ASI menjadi semakin penting. 

Pada saat bayi berusia 12-23 bulan, dua per tiga pemenuhan kebutuhan gizi berasal dari MP-ASI. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian MP-ASI adalah kuantitas dan kualitasnya memenuhi prinsip gizi seimbang agar tidak cenderung tinggi karbohidrat tetapi juga memenuhi kebutuhan karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. MP-ASI ada yang bersifat pabrikan dan ada yang berbasis pangan lokal. Keduanya dapat diberikan, namun MP-ASI berbasis pangan lokal akan lebih berkelanjutan karena memanfaatkan pangan yang ada di masyarakat. 

Balita dengan status gizi buruk perlu ditangani segera dengan intervensi pemulihan yang dapat dilakukan dengan metode pendekatan individual maupun pendekatan masyarakat. Secara umum, balita gizi buruk tanpa penyakit penyerta cukup ditangani dengan pemberian makanan tambahan untuk mengejar pertumbuhannya. 

Sementara, pada balita gizi buruk yang memiliki penyakit penyerta harus dilakukan pengobatan penyakitnya terlebih dahulu untuk selanjutnya diberikan makanan tambahan. Di daerah-daerah dengan jumlah kasus gizi buruk yang tinggi didirikan Pusat Pemulihan Gizi (Therapeutic Feeding Center/TFC). Di TFC, balita gizi buruk akan diberikan perawatan dan pemberian makanan tambahan secara intensif sesuai dengan usia dan kondisinya dengan melibatkan peran serta aktif orang tua. 

Agar orang tua bersedia untuk membawa balita gizi buruk ke TFC, beberapa daerah menyediakan kompensasi sebesar upah harian untuk menggantikan hari kerja yang hilang selama mendampingi anak di TFC. Hal lain yang penting adalah upaya untuk menjaga kontinuitas perawatan dan pemberian makanan bergizi saat anak kembali ke rumah. 

Kegiatan pemantauan pertumbuhan dilakukan sejak anak berusia 0-72 bulan dengan penimbangan berat badan setiap bulan dan pengukuran tinggi badan setiap 3 bulan sekali. Kegiatan pemantauan dilakukan di fasilitas kesehatan dasar hingga taman kanak-kanak. Pencatatan pemantauan dilakukan di Kartu Menuju Sehat (KMS). Jika berat badan anak di bawah garis merah, artinya anak mengalami kurang gizi sedang hingga berat. 

Suplementasi mikronutrien terdiri dari suplementasi kalsium untuk ibu hamil serta suplementasi kapsul vitamin A, suplementasi taburia, dan suplementasi zinc untuk pengobatan diare bagi anak usia 0-59 bulan. Vitamin A diberikan di Posyandu setiap bulan Februari dan Agustus. Sejak tahun 2016, pemberian vitamin A dilakukan terintegrasi dengan pemberian obat cacing dan imunisasi campak. 

Taburia merupakan tambahan multivitamin dan mineral untuk memenuhi kebutuhan gizi dan tumbuh kembang balita usia 6-59 bulan dengan prioritas balita usia 6-24 bulan. Taburia mengandung 12 macam vitamin dan 4 jenis mineral yang sangat dibutuhkan untuk tumbuh kembang dan mencegah terjadinya anemia pada balita. 

Taburia diberikan kepada anak dengan menambahkannya pada sarapan pagi yang disiapkan di rumah. Pemeriksaan kehamilan (Antenatal care) dilakukan selama minimal 4 kali selama masa kehamilan, yaitu satu kali pada trimester 1, satu kali pada trimester 2 dan dua kali pada trimester 3. Pemeriksaan ini dilakukan oleh tenaga kesehatan dan dicatat di buku KIA. Selain itu, ibu hamil juga harus mendapatkan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) untuk menghindari tetanus neonatorium. 

Pada saat pemeriksaan kehamilan pertama, ibu hamil akan ditanyai mengenai status imunisasi tetanusnya. Ibu hamil minimal memiliki status imunisasi T2 agar memiliki perlindungan terhadap infeksi tetanus. 

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) adalah pendekatan pelayanan terintegrasi dalam tata laksana balita sakit yang berfokus pada kesehatan anak usia 0-59 bulan secara menyeluruh di layanan rawat jalan fasilitas kesehatan dasar. Pelayanan MTBS dilakukan oleh perawat atau bidan dengan supervisi dokter yang terlatih. Pada daerah yang kesulitan mengakses layanan kesehatan, tenaga nonkesehatan diperbolehkan melakukan pelayanan kuratif terbatas dengan pendekatan MTBS berbasis masyarakat (MTBS-M). 

Intervensi Sensitif 

Intervensi sensitif merupakan kegiatan yang berhubungan dengan penyebab tidak langsung stunting yang umumnya berada di luar persoalan kesehatan. Intervensi sensitif terbagi menjadi 4 jenis yaitu penyediaan air minum dan sanitasi, pelayanan gizi dan kesehatan, peningkatan kesadaran pengasuhan dan gizi serta peningkatan akses pangan bergizi. 

Air Minum dan Sanitasi. 
Pada anak yang diare atau cacingan, zat gizi dari makanan yang dikonsumsi tidak diserap oleh tubuh. Bahkan, dalam kondisi tertentu, tubuh memecah cadangan makanan untuk melawan infeksi sehingga membuat anak menjadi kurus. Infeksi berulang yang terjadi dalam waktu cukup lama bisa menjadi faktor pemicu terjadinya stunting

Kejadian infeksi sangat terkait dengan kondisi lingkungan yang tidak sehat, seperti tidak tersedianya akses air bersih, sarana sanitasi layak, dan pengelolaan sampah. Dengan demikian, penyediaan air bersih dan sanitasi memiliki peran penting dalam penurunan stunting karena berhubungan erat dengan upaya pencegahan infeksi penyakit. 

Upaya untuk menyediakan sarana air bersih dan sanitasi baik di pedesaan maupun di perkotaan dilakukan antara lain melalui program Penyediaan Air minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) dan Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). 

PAMSIMAS bertujuan untuk meningkatkan praktik hidup bersih dan sehat di masyarakat, meningkatkan jumlah masyarakat yang memiliki akses air minum dan sanitasi yang berkelanjutan, meningkatkan kapasitas masyarakat dan kelembagaan lokal (pemerintah daerah maupun masyarakat) dalam penyelenggaraan layanan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat dan meningkatkan efektifitas dan kesinambungan jangka panjang pembangunan sarana dan prasarana air minum dan sanitasi berbasis masyarakat. 

Sedangkan, Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) bertujuan untuk mengubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan dengan metode pemicuan. Lima pilar dalam STBM adalah Stop Buang Air Besar Sembarangan, Cuci Tangan Pakai Sabun, pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga, pengelolaan sampah rumah tangga,dan pengelolaan limbah cair rumah tangga.Air dan sanitasi pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan sehingga program penyediaan sanitasi pun sama dengan penyediaan air bersih, seperti PAMSIMAS dan STBM. 

Pada RPJMN 2020-2024, pemerintah telah menetapkan beberapa target untuk meningkatkan akses sanitasi dan air minum yang aman dan berkelanjutan bagi masyarakat, yaitu: Target akses sanitasi layak 90%, termasuk akses air minum aman 20% dan Target akses air minum layak yang didukung dengan penyediaan akses air minum perpipaan 30% melalui pembangunan 10 juta sambungan rumah tangga, serta Bebas dari praktik BABS (Buang Air Besar Sembarangan) di tempat terbuka. 

Pelayanan Gizi dan Kesehatan. 
Pelayanan kesehatan dalam Keluarga Berencana dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi pasangan usia subur untuk membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas melalui upaya promotif, preventif, pelayanan, dan pemulihan termasuk perlindungan efek samping, komplikasi, dan kegagalan alat kontrasepsi dengan memperhatikan hak-hak reproduksi, serta pelayanan infertilitas. Melalui KB, masyarakat jadi bisa mengatur jarak kehamilannya sehingga lebih mudah untuk memastikan ketercukupan gizi anak. 

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)yang diimplementasikan mulai tahun 2014 ditujukan untuk memberikan perlindungan bagi seluruh penduduk agar dapat mengakses pelayanan kesehatan yang dibutuhkan tanpa hambatan finansial. Bagi penduduk miskin dan hampir miskin, pemerintah memberikan bantuan iuran agar seluruh masyarakat tercakup dalam layanan JKN. 

Dengan adanya jaminan kesehatan, ibu hamil maupun bayi dan balita dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas secara tepat waktu, seperti pemeriksaan kehamilan, imunisasi serta pengobatan penyakit atau infeksi. Hal ini tentunya akan berkontribusi dalam upaya penurunan stunting melalui peningkatan status kesehatan ibu dan balita. 

Program Keluarga Harapan 
Program Keluarga Harapan merupakan program Bantuan Tunai Bersyarat yang telah dilaksanakan sejak tahun 2007. Program ini ditujukan untuk keluarga miskin dengan ibu hamil, anak balita dan anak usia sekolah. 

Keluarga yang mendapat PKH akan memperoleh uang tunai apabila melaksanakan beberapa persyaratan, antara lain ibu hamil datang melakukan pemeriksaan ke pelayanan kesehatan minimal 4 kali, anak balita datang ke posyandu setiap bulan, dan anak sekolah hadir di fasilitas pendidikan. PKH bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin dalam jangka pendek dan mengatasi kemiskinan antar generasi dalam jangka panjang. 

Keluarga penerima manfaat PKH juga akan didampingi agar pengetahuan dan kesadaran keluarga mengenai kesehatan dan gizi dapat meningkat sehingga uang tunai yang diperoleh dapat dipergunakan untuk meningkatkan kualitas asupan gizi ibu hamil, anak balita, dan anak sekolah. 

Edukasi, Konseling dan Perubahan Perilaku.
Media memainkan peranan penting dalam edukasi ke masyarakat. Dalam hal ini, Kementerian Kesehatan dan Kominfo bekerja bersama untuk membuat kampanye dan komunikasi perubahan perilaku di masyarakat. Kominfo meluncurkan kampanye Genbest (Generasi Bersih dan Sehat) untuk meningkatkan kesadaran remaja dalam mencegah stunting

Perubahan perilaku yang dilakukan melalui komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) merupakan bagian yang penting dari intervensi sensitif untuk menurunkan stunting. Beberapa kegiatan terkait upaya perubahan perilaku antara lain penyuluhan untuk mencegah pernikahan dini, penyuluhan keluarga berencana, penyululuhan gizi dan kesehatan, penyuluhan gemar bercocok tanam, dan penyuluhan gemar makan ikan. 

Kegiatan KIE dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, baik melalui media massa cetak dan elekronik, kegiatan pendidikan, pertemuan langsung, dan juga melalui seni budaya. Kegiatan pola asuh (parenting) ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan orang tua dalam menerapkan pengasuhan yang tepat pada anak, termasuk di dalamnya perbaikan pola asuh untuk mencegah stunting

Kegiatan ini dilakukan dengan berbagai metode, dalam bentuk pelatihan pada kegiatan di Posyandu maupun pada kegiatan di PAUD dan BKB. Pola asuh berkaitan dengan perilaku dan kebiasaan yang dilakukan oleh anggota keluarga. 

Dalam pemberian makanan, orang tua perlu membiasakan anak mengonsumsi sayuran dan buah-buahan serta menghindari makanan yang manis, asin, dan berlemak. Kebiasaan memandikan anak, mengajari anak buang air besar pada tempatnya, perilaku cuci tangan, dan hal-hal lainnya juga akan membantu membiasakan anak untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. 

Upaya penurunan stunting di PAUD dan Bina Keluarga Balita (BKB) ditempuh dengan dua pendekatan yaitu: (1) penyediaan makanan bergizi seimbang sesuai dengan kondisi pertumbuhan anak; dan (2) pengenalan makanan seimbang dan faktor terkait stunting lainnya melalui Alat Permainan Edukatif (APE) yang digunakan oleh Posyandu. 

Mengingat periode emas pertumbuhan dan perkembangan terjadi sampai anak berusia 2 tahun, maka prioritas peningkatan status gizi anak adalah melalui pemberian MP-ASI dan makanan yang memenuhi prinsip gizi seimbang. 

Remaja diberikan pemahaman mengenai kesehatan reproduksi agar mereka memiliki pengetahuan yang cukup untuk membuat keputusan yang bertanggung jawab berkaitan dengan hak-hak kesehatan reproduksi dan seksualnya. Tujuannya untuk melindungi remaja dari risiko pernikahan usia dini, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, infeksi menular seksual dan penyakit lainnya. Apabila kehamilan tidak direncanakan dengan baik atau hamil pada usia yang terlalu muda, maka hal ini akan memperbesar risiko melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah (BBLR). 

Perempuan dan anak seringkali rentan terhadap kekerasan. Selain itu, masih banyak praktik di keluarga yang berkaitan dengan gender dan mempengaruhi asupan gizi perempuan. Misalnya, makanan biasanya diberikan kepada kepala keluarga atau anak laki-laki terlebih dahulu sebelum dikonsumsi oleh ibu dan anak perempuan. 

Akibatnya, perempuan memiliki status gizi yang lebih rendah dari laki-laki. Hal ini bisa mengakibatkan anemia pada masa remaja yang apabila berlanjut hingga kehamilan, berpotensi melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah (BBLR). 

Akses Pangan Bergizi. 

Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) adalah bantuan sosial pangan dalam bentuk non tunai dari pemerintah yang diberikan kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) setiap bulannya melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan hanya untuk membeli bahan pangan di pedagang bahan pangan/e-warong yang bekerjasama dengan bank. Program ini dijalankan sejak tahun 2018. 

Tujuannya adalah untuk mengurangi beban pengeluaran dan menyediakan makanan yang lebih bergizi dengan menyediakan beras dan telur untuk keluarga miskin. BPNT merupakan transformasi dari penyaluran Raskin (Beras Untuk Rumah Tangga Miskin) dan diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2017. 

Penyaluran secara non tunai diharapkan dapat meningkatkan transparansi program serta memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk menggunakan bantuan tersebut secara bijak sesuai kebutuhannya. Kartu elektronik dapat digunakan untuk memperoleh beras, telur, dan bahan pokok lainnya di pasar, warung, dan toko. 

Melalui BPNT, masyarakat dapat memperoleh nutrisi yang lebih seimbang karena tidak hanya memenuhi kebutuhan karbohidrat melalui beras, tetapi juga bahan pangan lainnya seperti telur yang tinggi protein. Oleh karena itu, kehadiran BPNT bagi keluarga pra sejahtera sangat penting untuk mencukupi kebutuhan gizi mereka. 

Fortifikasi adalah pengayaan zat gizi terutama vitamin dan mineral ke dalam bahan pangan tertentu yang banyak dikonsumsi masyarakat luas. Fortifikasi bahan pangan di Indonesia sudah dilakukan sejak lama, dimulai dengan fortifikasi iodium pada garam yang diwajibkan pada tahun 1994. 

Persyaratan mutu iodisasi garam ini diatur dengan SNI Nomor 3556:2010 tentang Garam Konsumsi Beryodium. Selain penerapan SNI wajib, dilakukan juga pembinaan terhadap produsen garam untuk meningkatkan ketaatan mereka terhadap fortifikasi. 

Kebijakan fortifikasi juga sudah diterapkan pada tepung terigu dengan menambahkan zat besi (Fe), asam folat, Zink, dan vitamin B1 dan B2 sebagaimana diatur dalam SNI Nomor 3751:2009. Pengayaan bahan pangan lain yang juga dilakukan adalah fortifikasi vitamin A pada minyak goreng curah. 

Fortifikasi pangan dinilai sebagai salah satu upaya pemenuhan zat gizi mikro masyarakat yang terbukti. Hal ini karena fortifikasi dilakukan pada bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat luas, terutama oleh penduduk yang kurang mampu. Kedepannya, masih terdapat beberapa bahan pangan lain yang potensial untuk difortifikasi seperti beras. 

Program-program yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian dan meningkatkan ketahanan pangan merupakan komponen penting dalam program Percepatan Perbaikan Gizi 1000 HPK. Program tersebut memastikan ketersediaan pangan bergizi dengan harga terjangkau untuk semua golongan masyarakat. 

Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) berfungsi sebagai basis ketahanan pangan. Program ini menitikberatkan kegiatannya pada pemberdayaan kelompok wanita tani dengan memanfaatkan pekarangan rumah sebagai lahan tanam untuk semua jenis tanaman yang bernilai gizi konsumsi keluarga. 

Sehingga, keluarga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangannya dengan tanaman yang ada di pekarangan rumah. Regulasi label dan iklan pangan penting dilakukan agar konsumen mengetahui produk yang akan dia konsumsi dan mampu membuat keputusan yang baik untuk kesehatannya. 

Membaca label makanan kemasan dan memahami komposisi serta anjuran penyajian yang tertera adalah cara penting untuk mengatur asupan gizi yang akan dikonsumsi, khususnya gula, garam, dan lemak. Konsumsi melebihi takaran yang dianjurkan oleh Kementerian Kesehatan dapat meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti jantung, diabetes, hipertensi, hingga stroke. Selain itu, klaim produk susu formula untuk ibu hamil dan menyusui yang tidak tepat juga dikhawatirkan dapat menimbulkan masalah kesehatan sehingga perlu diawasi dengan seksama. 

Intervensi Pendukung 

Pencatatan Sipil. 
Setiap anak yang baru lahir harus mendapatkan akta kelahiran agar terdaftar dalam sistem bantuan sosial. Dengan memiliki akta, anak dapat memperoleh pelayanan kesehatan di puskesmas/ posyandu serta mengakses sarana pendidikan usia dini yang disediakan oleh pemerintah. Oleh karena itu, pencatatan sipil memainkan peranan yang penting dalam pencegahan stunting. 

Penguatan Posyandu. 
Posyandu merupakan Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) yang diselenggarakan secara berkala setiap satu bulan sekali oleh masyarakat dengan dukungan petugas kesehatan. Kegiatan di Posyandu dikenal dengan sistem lima meja, terdiri atas: (1) pendaftaran, (2) penimbangan, (3) pengisian Kartu Menuju Sehat (KMS), (4) pelayanan kesehatan, dan (5) penyuluhan. 

Posyandu merupakan garda terdepan dari pelayanan kesehatan dan gizi kepada ibu hamil dan anak balita. Saat ini, pemantauan pertumbuhan di sebagian besar Posyandu masih berdasarkan indikator berat badan menurut umur. 

Namun, di beberapa tempat sudah mulai diterapkan juga pengukuran tinggi badan menurut umur. Hal ini perlu diperluas ke seluruh posyandu untuk dapat memantau kondisi kekurangan gizi kronis (stunting) pada anak. 

Surveilans Gizi. 
Surveilans gizi berfungsi untuk memberikan informasi keadaan gizi masyarakat dan faktor yang mempengaruhinya secara cepat, akurat, dan berkelanjutan sehingga dapat digunakan untuk menetapkan kebijakan gizi maupun penanggulangan masalah gizi. 

Surveilans dapat dilakukan melalui aplikasi elektronik pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat (e-PPGBM). Dengan adanya sistem surveilans yang kuat, anak yang kurang gizi maupun stunting dapat memperoleh layanan kesehatan yang dibutuhkannya dengan cepat. Termasuk jika membutuhkan perawatan lebih lanjut dengan dirujuk ke rumah sakit di tingkat Kabupaten/Kota. 

Advokasi Pemerintah Daerah. 
Advokasi kepada pemerintah daerah dapat dilakukan dengan mengawal penerapan kebijakan percepatan penurunan stunting di daerah. Pada tingkat kabupaten/kota, dilakukan delapan aksi integrasi, yaitu serangkaian kegiatan intervensi gizi untuk mencegah dan menurunkan stunting secara lintas sektor. 

Bupati/Walikota selaku pimpinan daerah menunjuk tim lintas sektor yang nantinya bertanggung jawab untuk memastikan terlaksananya Aksi Integrasi dari tingkat kabupaten/kota hingga tingkat desa. ⁠Aksi Integrasi dilaksanakan mengikuti siklus perencanaan dan penganggaran di Kabupaten/Kota. 

Tahapan intervensi yang dilakukan terdiri dari 8 Aksi, yaitu: Analisis Situasi, Penyusunan Rencana Kegiatan, Rembuk Stunting, Peraturan Bupati/Walikota tentang Kewenangan Desa dalam percepatan penurunan stunting, Pembinaan Kader Pembangunan Manusia, Sistem Manajemen Data Stunting, Pengukuran dan Publikasi Data Stunting dan Reviu Kinerja Tahunan. 

Konvergensi Pencegahan Stunting. 
Dana desa dapat digunakan untuk menanggulangi stunting. Untuk memastikan stunting menjadi isu prioritas dalam perencanaan di tingkat desa, kepala desa merekrut Kader Pembangunan Manusia (KPM). KPM merupakan kader masyarakat yang bertugas untuk memfasilitasi aksi konvergensi penurunan stunting di tingkat desa. 

Pengertian konvergensi intervensi pada sasaran adalah bahwa setiap ibu hamil, ibu menyusui, ibu nifas, dan anak usia 0-23 bulan mendapatkan akses layanan atau intervensi yang diperlukan untuk penanganan stunting secara terintegrasi. 

KPM mengajak peran serta atau partisipasi masyarakat dan lembaga dalam proses perencanaan, pelaksanaan kegiatan dan pemantauan; serta berkoordinasi dengan pelaku program dan lembaga lainnya seperti bidan desa, petugas puskesmas lainnya (ahli gizi, perawat, sanitarian), guru PAUD dan aparat desa. 

Intervensi Terintegrasi 
Inisiasi Intervensi Terintegrasi. Stunting memiliki banyak faktor penyebab sehingga untuk mengatasinya tidak bisa dilakukan oleh masing-masing sektor dengan kegiatan yang parsial. Faktor penyebab langsung dan tidak langsung dari stunting harus diatasi bersama-sama oleh seluruh lintas sektor yang terkait melalui integrasi intervensi gizi spesifik dan sensitif. 

Integrasi dan konvergensi program yang dilaksanakan oleh lintas sektor akan menghasilkan daya ungkit yang lebih besar dalam upaya penurunan prevalensi stunting. Wakil Presiden RI telah memberikan arahan pada rapat terbatas tingkat menteri tanggal 9 Agustus 2017 untuk melaksanakan intervensi penurunan stunting terintegrasi. 

Tujuannya adalah untuk mempercepat penurunan stunting pada anak balita di Indonesia melalui kegiatan terintegrasi di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota hingga desa sehingga mampu mewujudkan sumberdaya manusia Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing. 

Intervensi gizi terintegrasi merupakan kegiatan pencegahan dan penanggulangan permasalahan gizi khususnya stunting dengan melibatkan berbagai K/L terkait. Disebut terintegrasi apabila dari sisi jenis kegiatan yang dilakukan lengkap dan sesuai permasalahan, cakupan mencapai angka cakupan minimal dan tepat sasaran, dan dari sisi kualitas intervensi sesuai standar dengan tingkat kepatuhan (compliance) yang tinggi. 

Kegiatan intervensi gizi terintegrasi di susun berdasarkan program intervensi baik spesifik dan sensitif yang terbukti efektif. 

Lokasi Fokus Intervensi Penurunan Stunting. 
Pemilihan lokasi fokus intervensi stunting pada tingkat kabupaten/kota didasarkan pada sejumlah indikator, antara lain jumlah balita stunting, prevalensi stunting serta tingkat kemiskinan. Sejak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2018, lokasi fokus intervensi penurunan stunting terus bertambah setiap tahunnya. 

Dari 100 kabupaten/kota di tahun 2018, diperluas menjadi 160 kabupaten/kota di tahun 2019 hingga 260 kabupaten/kota di tahun 2020. Pada tahun 2021, jumlah ini bertambah lagi menjadi 360 kabupaten/kota. Cakupan akan terus diperluas secara bertahap hingga pada tahun 2023 akan mencakup 514 kabupaten/kota. Oleh karena itu, diharapkan pada tahun 2024, seluruh kabupaten/kota telah mengimplementasikan intervensi penurunan stunting terintegrasi yang mendukung dalam pencapaian target RPJMN 2020-2024.

Dikabarkan oleh Tim Pengelola Informasi Desa Kemlagi