Sabtu, 24 Juni 2017

Dari Desa dan Untuk Desa: Menuju Kedaulatan Politik Masyarakat Desa

Sudir Santoso (Ketua Parade Nusantara)
www.kemlagi.desa.id - Sebagaimana postingan kami beberapa hari yang lalu tentang Dari Desa dan Untuk Desa yang merupakan tulisan Ketua Pusat Parade Nusantara (Sudir Santoso) yang merupakan salah satu penggagas lahirnya UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa, Parade Nusantara memiliki ada 2 (dua) tujuan utama dengan lahirnya undang-undang ini, pertama adalah Desa Berdikari Dalam Bidang Ekonomi (sudah dikupas pada postingan yang lalu), kedua adalah Menuju Kedaulatan Politik Masyarakat Desa Indonesia.

Pada bahasan kali ini yang kami share dari akun Ketua Pusat Parade Nusantara (Sudir Santoso) di
https://web.facebook.com/semarbodronoyo.paradenusantara sengaja tidak kami tampilkan secara keseluruhan namun sudah kami lakukan editing.

Oleh karenanya rakyat desa harus diberi pendidikan politik agar memahami ilmu politik yang muara akhirnya berdaulat dalam bidang politik,maka harus ada gerakan pendidikan politik kepada rakyat secara mandiri, swakelolola dan swadaya, kesadaran yang tumbuh dari rahim rakyat sendiri, agar rakyat desa faham dan melek politik, mengerti dan menghargai hak konstitusinya sehingga rakyat memiliki kedaulatan politik.

Program pendidikan politik yang dilakukan bukan untuk kepentingan partai politik menghadapi Pileg dan Pilpres tahun 2019. Pendidikan politik ini diberi nama Program " LUMBUNG SWARA DESA / LSD ".

Secara tehnis secara berjenjang dan bertahap tentang program LSD akan kita paparkan secara bersambung.

Untuk tahap perkenalan Program LSD saya akan mulai dari bertanya kepada rakyat desa Indonesia melalui cerita.

Saat ini mayoritas rakyat desa jika ada Pilkades, Pilkada, Pileg dan Pilpres mau memilih dan mencoblos jika diberi uang, betul ?

Artinya hampir semua hak dan kewajiban dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dinilai dengan uang atau yang menguntungkan secara spontan, benar ?

Jika memang demikian adanya .............besok pagi saya butuh 250 (dua ratus lima puluh) orang rakyat desa dari salah satu desa di Kabupaten Kendal - Jateng, sengaja saya pilih Kabupaten Kendal karena dekat dengan bandara Ahmad Yani Semarang.

Sebanyak 250 orang rakyat desa itu saya jemput dengan 3 bus mewah dari desanya, saya antar ke bandara A Yani Semarang untuk saya ajak naik pesawat terbang menuju Jakarta, gratis tidak bayar tiket pesawat bahkan setiap orang akan saya beri uang saku masing-masing orang Rp.2.000.000 (dua juta rupiah), kira-kira rakyat desa itu mau apa tidak ? jika jawabnya mau dan senang, maka 250 orang desa itu segera masuk pesawat terbang, setelah semua penumpang semua sudah menempati seat nya masing-masing, maka tangga pesawat segera digeser dan pintu pesawat ditutup.

Selanjutnya seorang pramugari yang ramah dan cantik memberi pengumuman sabagai berikut :

Para penumpang yang terhormat, kita akan terbang dari bandara Ahmad Yani Semarang menuju bandara internasional Soekarno - Hatta di Jakarta, penerbangan ini akan ditempuh dalam waktu 45 menit dengan pesawat Boing 737, kita akan terbang dengan ketinggian 26.000 kaki dari permukaan laut.

Perlu saya kenalkan dan disampaikan bahwa pilot yang akan menerbangkan pesawat ini adalah kapten Semar Sudir Santoso, penting saya informasikan juga bahwa Kapten Pilot Semar Sudir Santoso tidak lulus sekolah penerbangan, serta belum pernah menerbangkan pesawat terbang ................

Saya mau tanya dan mohon dijawab secara jujur, setelah semua penumpang pesawat mendengar pengumuman dari pramugara tadi, kira-kira bagaimana sikap dan reaksi semua penumpang pesawat terbang tsb ?

Ingat lho ....naik pesawat terbang gratis pulang-pergi dan diberi uang masing-masing orang Rp. 2.000.0000 (dua juta rupiah).

Mau lanjut terbang ke Jakarta ?, atau minta turun dari pesawat dan batal terbang ?

Saudara masyarakat desa Indonesia ......demikianlah pada saat saudara menjatuhkan pilihan anda pada saat memilih calon pemimpin .

Para calon pemimpin mayoritas pasti akan menutupi rapat semua kekuranganya, bahkan jika perlu berbohong, tidak mau jujur, bahwa sesungguhnya mereka tidak siap, tidak cakap dan tidak mampu menjadi pemimpin saudara, tetapi ambisi dan nafsunya mengalahkan segalanya.

Mereka hanya mengandalkan uang atau modal dan saudara sesungguhnya hanya mendapat recehan belaka.

Haruskah dengan uang recehan itu kau celakakan dirimu dan keluargamu selama 5 tahun kedepan ?

Jumat, 23 Juni 2017

Inilah Asal Usul Mudik Lebaran

ilustrasi
www.kemlagi.desa.id - Bagi para perantau, lebaran menjadi salah satu alasan untuk pulang ke kampung halamannya atau biasa disebut mudik. Hampir setiap tahun, ribuan bahkan jutaan orang rela berdesak-desakan atau menghadapi macet panjang agar bisa bertemu sanak saudara saat hari Raya Idul Fitri.

Tradisi mudik lebaran memang sangat unik dan jarang ditemukan di negara lain. Biasanya tradisi ini dimulai seminggu sebelum lebaran, meskipun ada juga perantau yang memilih mudik pada hari lebaran dengan alasan menghindari macet.

Menariknya, mudik khusus diberikan untuk momen pulang kampung saat lebaran. Sedangkan pada hari lain pulang kampung tidak disebut mudik. Lalu sejak kapan tradisi mudik dimulai?

Berdasarkan data yang didapat dari berbagai sumber, mudik adalah tradisi yang dilakukan para petani Jawa di Zaman Kerajaan Majapahit. Saat itu mudik tak ada kaitannya dengan lebaran.

Dalam bahasa Jawa ngoko, mudik adalah singkatan dari "mulih dilik" yang artinya pulang sebentar saja. Namun seiring berjalannya waktu, mudik diartikan sebagai "mulih udik" atau pulang kampung.

Meski kata mudik sudah dikenal lama, tradisi ini mulai populer di era tahun 1970-an. Saat itu banyak orang desa yang berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk mengadu nasib. Pasalnya, di masa itu Jakarta sedang mengalami masa pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat.

Selain itu pemberitaan di media setiap lebaran pun membuat mindset di masyarakat bila mudik saat lebaran adalah suatu hal yang wajib.

Sama seperti Jakarta, masyarakat desa yang bekerja di kota lainnya juga melakukan tradisi mudik. Mereka mencoba mengobati rasa rindu kampung halaman saat hari raya umat Muslim itu.

Diposting oleh Tim Pengelola Informasi Desa Kemlagi

Kamis, 22 Juni 2017

Haruskah Desa Go Online, Ini Jawabannya

ilustrasi
www.kemlagi.desa.id – Di jaman serba digital ini mengharuskan semua sistem sebisa mungkin turut serta dalam arus digitalisasi. Itulah sebabnya masyarakat desa pun harus masuk ke Desa Go Online. Desa Go Online tidak hanya akan menciptakan efektivitas dan efisiensi kerja melainkan juga bakal membuka pintu pengetahuan luas bagi warganya.

Desa Go Online berarti sebuah cara yang dilakukan desa untuk mengembangkan penyelenggaraan kepemrintahan desanya dengan basis teknologi digital. Salah-satunya dengan membangun Sistem Informasi Desa (SID) berbasis aplikasi digital. Ada beragam fungsi yang bakal didapatkan desa berkaitan dengan penyelenggaraan layanan publik dengan memanfaatkan sistem ini.

Digunakannya SID akan membuat setiap warga desa dengan mudah mengenali desanya berkat kelengkapan data yang bisa mereka akses setiap saat. SID juga sangat pintar melayani warga desa yang ingin mengurus beragam perkara administrasi desa mulai dari mengurus surat pindah dan meminta surat keterangan ini-itu. Seluruh proses itu bakal bisa dijalankan dengan waktu yang sangat cepat.

SID juga sangat memungkinkan setiap warga memahami potensi desanya sehingga mendorong kreativitas kewirusahaan. Misalnya, warga menjadi tahu berapa jumlah warga dewasa dengan rentang usia tertentu, sehingga mereka menjadi tahu berapa jumlah konsumen yang dibidik produk yang diolahnya jika itu menyangkut UKM penyedia produk makanan misalnya.

Warga juga bisa mengakses informasi mengenai kegiatan atau proses kepememerintahan desa hingga masalah detail penggunaan dana desa dengan cara yang transparan. Maka, digitalisasi turut pula mendorong pemberantasan penyakit korupsi karena desa bakal memasuki pola transparan dan akuntabel.

Di lain sisi, pemanfaatan sistem digital akan menciptakan perubahan pola sistem pengetahuan pada warga desa. Kebiasaan warga menjalankan beragam proses konvensional dalam kepengurusan adminitrasi desa akan membuat mereka menjadi sadar betapa cepat dan praktisnya sistem digital ini. Mereka bisa mengurus berbagai kebutuhan administrasi melalui online yang bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Alhasil, tak perlu ada lagi cerita warga harus menghabiskan seharian duduk di balai desa hanya demi mengurus selembar surat keterangan tertentu.

Tetapi efek yang sesungguhnya paling penting adalah, begitu era digital memasuki kehidupan mereka sehari-hari, maka warga juga otomatis bakal mampu mengakses beragam informasi melalui online, hal yang selama ini masih belum terpikir oleh warga desa. Begitu mengenal internet, warga bisa belajar mengenai teknik memelihara kambing, ikan, budidaya bibit tanaman tertentu hingga melihat langsung bagaimana disain furniture yang unik bisa dibuat. Berbagai informasi ini sangat penting karena bakal mendongkrak pengetahuan dan kemampuan kreatif warga.

Digitalisasi dan internet juga bakal dengan cepat membuat warga desa memahami mudahnya membangun jaringan pasar dan kerjasama mengembangkan bisnis melalui toko online atau jaringan yang muncul berkat media sosial yang mereka gunakan.

Tetapi bukan tanpa resiko. Digitalisasi dan pemanfaatan internet juga bakal membawa dampak sosial dari isi yang negatif. Salah-satunya, karena mulai terbiasa mengurus berbagai kebutuhan administrasi melalui online, warga menjadi jarang bertemu satu sama lain. Kerenggangan hubungan sosial ini tentu saja memiliki pengaruh pada ikatan sosial yang selama berpuluh tahun telah tertanam pada warga.

Tetapi persoalannya, dunia digital adalah sebuah keniscayaan yang akan terus merangsek seluruh relung kehidupan tanpa ampun. Maka, mau tak mau perangkat desa dan warga pasti bakal bersentuhan dengan dunia digital di masa depan. Jadi, kenapa tidak dimulai dari sekarang?

Diposting oleh Tim Pengelola Informasi Desa Kemlagi

Rabu, 21 Juni 2017

Bisakah Desa Membangun BUMDesa Raksasa, Bisa dan Begini Salah-satu Caranya

ilustrasi
www.kemlagi.desa.id – Mampukah warga desa membangun BUMDesa besar meraksasa? Jika ya, seperti apa contohnya dan apakah mampu membangun BUMDesa besar di wilayah desa yang tak punya banyak potensi?

Mari berhitung dari dasar. Berapa jumlah penduduk desa Anda lalu coba hitung berapa kilogram beras yang dikonsumsi dalam satu hari untuk satu orang dengan perbandingan seperti anak keciil, orang dewasa dan sebagainya. Lalu kalikan seluruh warga desa.

Lakukan hal yang sama pada kebutuhan lain seperti sabun, minyak goreng, telur, daging dan kebutuhan lainnya. Bayangkan jika semua kebutuhan itu bisa dipenuhi oleh minimarket milik BUMDesa? Bayangkan pula jika minimarket itu menggantikan berbagai produk buatan pabrik dengan produk buatan warga desa seperti makanan kecil, air kemasan bahkan minyak goreng dan terus berkembang hingga sabun, shampo dan lain-lain.

Apakah yang merisaukan Anda jika menggunakan shampo yang bukan buatan pabrik? Memangnya Anda tahu apa saja bahan yang digunakan untuk membuat produk-produk pabrikan itu? Pernahkah Anda bayangkan bahwa sebenarnya ada banyak bahan berbahaya yang terkandung dalam makanan, minuman bahkan shampo yang Anda gunakan? Bagaimana dengan produk lokal.

Produk lokal sangat memungkinkan bagi semua orang untuk mengetahui kandungan yang ada dalam bahan makanan, minuman atau bahan lain seperti minyak goreng dan sebagainya. Saat ini ada banyak kampus perguruan tinggi yang siap membantu UMKM dan produsen di pedesaan untuk bisa menciptakan produk yang higienis, murah dan bisa dikemas dengan indah sebagaimana produk pabrikan.

Bayangkan jika seluruh desa di Indonesia melakukan ini, betapa besar uang yang akan beredar di desa karena uang itu tidak akan pernah kemana-mana melainkan dari Anda masuk ke toko yang keuntungannya membiayai berbagai kebutuhan sosial. Hebatnya lagi produsennya tidak lain dan tidak bukan adalah tetangga Anda sendiri. Kalau tak percaya,

Maka yang kemudian bakal terjadi adalah bakal lahir BUMDesa mendirikan pabrik minyak goreng, memproduksi sabun mandi dan sebagainya. Muncul pula pasar sayur-mayur sehat antardesa. Warga desa benar-benar mampu memenuhi sebagian besar kebutuhannya dengan produk yang dihasilkannya sendiri. Jika desa Anda tidak mampu menghasilkan beras, Anda tinggal impor dari desa sebelah.

Jika desa sebelah tidak punya produk buah-buahan, tinggal ‘calling’ ke minimarket di desa Anda. Warung-warung kecil di seluruh penjuru desa bisa ‘kulakan’ ke minimarket desa yang berfungsi sebagai grosir dan mendapatkan harga yang jauh lebih murah dari produk yang selama ini mereka beli di kota.

Dengan cara ini maka uang warga desa tidak akan kemana-mana. Sebaliknya, mereka bakal mendapatkan uang dari hasil penjualan berbagai produk desa ke kota. Maka desa bakal menjelma sebagai kekuatan desa baru. Karena sesungguhnya, peningkatan kesejahteraan tidak identik dengan peningkatan penghasilan tetapi lebih pada bagaimana cara Anda membelanjakan uang yang Anda miliki. Kalau beragam kebutuhan bisa dibeli dengan murah, bukankah bakal banyak uang tersimpan. Pola ini juga bakal segera membuka begitu banyak peluang produksi untuk memenuhi kebutuhan antarwarga. Maka,  terciptalah raksasa BUMDesa!

Diposting oleh Tim Pengelola Informasi Desa Kemlagi

Selasa, 20 Juni 2017

WAITING FOR THE BLANGGUR - Ngabuburit anak jaman dulu

ilustrasi
www.kemlagi.desa.id - Catatan ini kami share dari sebuah akun FB Serpihan Catatan Ayuhanafiq Sore itu, seperti juga sore lainnya saat puasa, kami anak-anak kampung nongkrong di tepi jalan. Jalur penghubung transportasi ke ibu kota kabupaten yang masih berupa jalan makadam. Ya, kegiatan yang sekarang dikenal dengan ngabuburit, dulu kami sebut golek/mencari maghrib. Satu tanda maghrib senantiasa kami tunggu dari arah kota.

Hidup di desa yang jaraknya sekitar 20 kilo dari pusat kota tentu jarang melihat keramaian. Maklum, tidak setiap hari dan tidak semua orang bisa pergi melihat riuhnya kota dengan kabel Aniem menjulur sepenjang jalan. Setiap hari kita hanya tahu sawah, kebun, kali dan pepohonan yang bisa dinikmati. Kegiatan lungo masih menjadi sebuah kemewahan, bahkan sekedar datang ke pasar kecamatan terhitung jarang.

Bulan puasa, hari-hari kami menjadi beda. Aktivitas harian menjadi berkurang. Petani pulang lebih pagi dari sawahnya untuk menghindari sengatan matahari yang bisa menguras energi. Siang hari menjadi sepi, teman sepermainan seolah menghilang semua. Jika tidak puasa pada siang itu biasanya anak kampung berkumpul pada halaman luas dan rindang untuk bermain bersama. Keceriaan bermain siang hari berganti dengan tidur bersama di langgar kampung.

Usai ashar, baru kehidupan berputar kembali. Teman-teman berpencar meninggalkan langgar panggung. Tujuannya ke sawah atau ke kebun untuk mencari buah yang bisa dibawa pulang. Bisa jambu, juwet atau buah liar lainnya yang tidak dirawat khusus oleh pemiliknya. Di sawah ada buah ciplukan dan tidak jarang ngasak sisa umbi yang masih tertinggal usai di panen. Segala makanan itu akan menjadi santapan pelengkap buka puasa. Kalo saja tidak puasa mungkin mencuri tebu lebih asyik dilakukan. Tebu yang sudah dikupas dan direndam air es akan terasa nikmat. Sayangnya, kata guru ngaji, puasa gak boleh mencuri.

Golek maghrib dijalani bareng setelah mandi. Kostum yang dipakai baju harian dengan sarung dilengkapi kopyah di kepala. Tempat favorit untuk menunggu maghrib, ada di bawah pohon termbesi di tepi kali yang mengalir sepanjang jalan makadam. Tidak banyak bicara diantara kita.Beberapa orang melintas dengan mengayuh sepeda, lebih banyak yang lewat jalan kaki. Jika ada orang kenal melintas maka akan terjadi tegur sapa, "golek maghrib rek?" kata yang kerap kita terima. "Nggeh, wak.." jawaban kita dengan nada koor.

Kalo kita tidak banyak bicara, itu bukan berarti kita gak kuat lagi bicara karena kehabusan tenaga, tidak. Kita memang semgaja mencari suasana hening untuk menunggu suara yang kadang-kadang satup mampir ke telinga. Kenapa kita berkumpul di jalanan, tempat terbuka? Itu karena bisa tidak terdengar suaranya bila ada di ruang tertutup, terhalang dinding. Suara itu merupakan penanda waktu kita mengakhiri puasa. Setiap sore kita menunggu suara mercon atau mungkin suara ledakan bom yang kita sebut blanggur. Saking konsentrasinya mendeteksi suara blanggur, bila ada teman yang mengajak bicara maka akan diperingatkan. We are waiting for the blanggur.

Duuuummmm......suara itu kami dengar, segera kami berlomba lari menuju rumah masing-masing. Saat berlari itu tidak jarang kita teriak, "buko...bukoooo..!!" Maka orang yang mendengar teriakan kami masuk ke rumah untuk membatalkan puasanya. Buka puasa dilakukan setelah ada suara blanggur.

Pada sore lainnya, kegiatan kumpul golek maghrib dilakukan. Kita, anak desa tidak pernah tahu apa dan bagaiman bentuk blanggur itu. Cerita tengtang blanggur kita dapat dari orang tua yang pernah ke kota. Menurutnya, blanggur itu bom yang ditembakkan saat waktu maghrib. Lokasinya di alun-alun depan masjid Agung Kabupaten. Bom blanggur itu ledakkan untuk memberi tahu sudah waktunya berbuka.

Nama blanggur muncul dari dua suku kata, Blang dan gur. Istilah yang diambil dari "blang", suara ledakan di udara dan disusul oleh resonansi seperti suara guruh, gur-gur-gur. Bunyi gemuruh itu hasil resonansi suara ledakan. Bahan peledak sebesar kelapa dimasukkan dalam alat pelontar yang akan melemparnya ke udara. Ledakan di udara itulah yang disebut blanggur.

Ternyata keberadaan Blanggur bukan hanya di Mojokerto, semua masjid agung kabupaten melakukan hal yang sama. Ternyata keberadaan blanggur itu memang atas perintah komandannya para tentara. Perintah yang ditindaklanjuti oleh bawahannya ditingkat kabupaten. Seorang petugas dari masjid akan memberi tahu pada se-regu tentara yang telah siap dengan blanggur. Karena berbentuk bahan peledak yang dibinyikan dengan cara tertentu maka butuh orang yang ahli.

Ritual peledakan blanggur itu menjadi tontonan warga kota. Berbeda dengan di desa, orang kota datang dan berkumpul di alun-alun. Saat blanggur diledakkan, semua orang menutup rapat telinganya. Suara yang di desa terdengar merdu, di kota pasti memekakkan gendang telinga. Begitu cerita orang desa yang pernah ke kota saat membagi pengalamannya. Lalu suara blanggur membuyarkan dia bercerita. Lalu kita semua lari sambil teriak, "bukoooo...bukoooo...".

Sampai sekarang setelah menua, saya belum tahu bagaimana wujud blanggur itu. Apakah mirip dengan mercon yang menyisakan serpihan kertas setelah ledakan terjadi, atau bagaimana ? Mungin tidak penting mengetahui seperti apa bentuknya karena yang kita butuhkan adalah suara blanggur itu. Dan dengan setia menunggu datangnya suara blanggur.

Inilah yang Membuat Desa Kesulitan Mengembangkan BUMDes

ilustrasi
www.kemlagi.desa.id – Apa yang membuat banyak desa di berbagai pelosok di Indonesia kesulitan mengembangkan BUMDesa, salah-satunya karena para pemuda desa tidak dilibatkan dalam diskusi sejak awal. Celakanya, ketika penyusunan pengurus BUMDesa, yang dipasang adalah warga desa golongan tua yang sudah tidak memungkinkan melakukan inovasi manajemen usaha.  

Parahnya lagi, setelah memilih struktur, posisi-posisi penting operasional BUMDesa lagi-lagi ditempati orang-orang tertentu yang sama sekali tidak punya kemampuan mengembangkan usaha. Akibatnya gampang ditebak, BUMDesa langsung loyo dari bulan pertama beroperasi. Padahal sesungguhnya anak muda desa-lah yang memiliki kemampuan mengembangkan usaha BUMDesa.

Pemahaman para perangkat desa mengenai BUMDesa sendiri juga masih berkutat pada wilayah desanya saja. Sehingga BUMDesa terjebak pada skala usaha yang besarannya sesuai daya beli warga desa. Situasi seperti ini-lah yang membuat BUMDesa kesulitan meningkatkan pendapatannya. Tetapi yang paling parah adalah ada banyak kepala desa merasa kehadiran BUMDesa malah dianggap beban bagi pemerintahan desa.

Padahal sesungguhnya BUMDesa memiliki kekuatan besar untuk menciptakan lompatan ekonomi bagi kesejahteraan desa jika dimanfaatkan dengan baik oleh anak-anak muda desa. Hanya saja, banyak pula kepala desa yang belum mengakui besarnya potensi desanya sendiri. Banyak kepala desa yang ‘tidak rela’ jika modal BUMDesa yang diguyurkan pemerintah diberikan pada anak-anak muda untuk mengelolanya. Apa pasal?

Secara sosial sebagian besar desa di Indonesia menganggap kepala desa adalah seorang warga yang memiliki kekuasaan yang begitu luas. Akibatnya kepala desa merasa dirinyalah orang yang paling tahu bagaimana mengorganisasikan desa termasuk proses pengembangan BUMDesa. Padahal, kepala desa selama ini lebih identik dengan pekerjaan seremonial dan administrasi. Sikap diri merasa paling berkuasa ini justru bisa menjadi salah-satu pemicu utama kegagalan BUMDesa itu sendiri.

Di kalangan anak muda, kesenjangan kekuasaan yang cenderung dikuasai golongan masyarakat usia sepuh itu membuat mereka semakin jauh pada urusan desa. Anak muda juga lebih tertarik pergi ke kota mencari pekerjaan. Tawaran BUMDesa sama sekali tidak menarik bagi sebagian besar mereka.

Sudah saatnya anak muda berpikir ulang mengenai desa. Saat ini hidup di desa tidaklah seterpencil dahulu kala. Hidup di desa kini juga sama dengan kota karena semua orang bisa mengakses internet dari manapun. Sebaliknya, kemampuan menggunakan teknologi internet seperti ini hanya dikuasai anak muda.

Nah, sudah saatnya anak muda sekarang ini memilih desanya sebagai alternatif membangun masa depan. Soalnya, sekarang ini ada banyak aktivitas kerja yang bisa dilakukan semua orang dari desa. Juga, semakin abai anak-anak muda pada desanya maka semakin jauh pula desanya dari kemajuan.

JIka saja sekelompok anak muda berani memilih untuk tinggal dan berkarya di desa dengan menggunakan internet sebagai media pengembangan jiwa wirausaha mereka. Termasuk mengelola BUMDesa-nya.  Maka, bukan tidak mungkin, perubahan bakal terjadi bukan hanya pada kehidupan ekonomi mereka saja melainkan juga bakal mempengaruhi peri kehidupan seluruh warga desanya. Seperti kata filosof hebat dari Yunani ribuan tahun lalu,” Beri aku sepuluh pemuda, maka akan aku rubah dunia”.

Diposting oleh Tim Pengelola Informasi Desa Kemlagi

Senin, 19 Juni 2017

Dari Desa dan Untuk Desa

ilustrasi
www.kemlagi.desa.id - Tulisan ini adalah buah pikiran Sudir Santoso, Ketua Parade Nusantara (Persatuan Rakyat Desa Nusantara) Pusat, salah satu komponen penggagas lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Ada dua (2) tujuan utama pada saat kita sama-sama menggagas dan menginisiasi lahirnya Undang-Undang Desa:

I. Desa Berdikari Dalam Bidang Ekonomi

Meskipun setelah lahirnya UU Desa, penggunaan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) setiap tahun anggaran saat ini lebih diprioritaskan pada pembangunan fisik / Infrastruktur Pedesaan, masih sangat minim yang dialokasikan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).Hal ini tidak terlalu menjadi masalah jika menggunakan dalih dan alasan skala prioritas.

Sebagai penggagas lahirnya UU Desa, saya cukup faham dan bisa mengerti, karena saya juga memahami bahwa setelah 5 sd 10 tahun kedepan, Dana Desa tidak akan dapat terserap lagi untuk pembangunan fisik / infrastruktur Desa karena semua jenis pembangunan fisik Desa sudah terbangun.

Jika Dana Desa dan ADD sudah tidak terserap lagi untuk pembangunan fisik Desa , apakah harus dikembalikan kepada kas Negara ?, jika itu terjadi alangkah naif dan bodohnya para Aparatur Pèmerintah Desa.

Maka jalan kèluar untuk jawaban masalah tersebut sudah kita siapkan didalam Bab X UU Desa yaitu bab yang mengatur tentang BUMDes sebagai penampung berapapun dana DD & ADD yang sudah tidak lagi terserap untuk biaya pembangunan fisik Desa, sisa keseluruhanya dapat untuk penambahan penyertaan modal BUMDes.

Itulah sebabnya jauh sebelum Kemendes hiruk pikuk berbicara dan menyadari pentingnya keberadaan BUMDès disetiap Pemerintahan Desa, saya selalu mengingatkan keberadaan BUMDes.
Sebelum lahirnya UU Desa, rata-rata desa di Indonesia mendapat stigma bahwa desa ditempatkan sebatas :

  1. Penyadia row material (bahan baku mentah) yang harganya murah; dan
  2. Penyedia man power (tenaga kerja) yang berupah rendah .
Dari kedua stigma tersebut diatas maka keberadaan BUMDes menjadi sangat penting, agar melalui BUMDes masyarakat desa dapat mengolah bahan baku mentah (segala jenis hasil panen) untuk meningkatkan nilai tambah.

Sehingga dalam putaran roda ekonomi masyarakat desa tidak terus dijadikan OBYEK, tetapi dapat menjadi SUBYEK ekonomi, minimal sebagai mitra kerja yang setara dan berkeadilan dari para pelaku pabrikan / korporasi besar.

Oleh karenanya hakekat keberadaan BUMDes, adalah sebagai pintu gerbang kebangkitan ekonomi masyarakat Desa.

Tetapi saat ini terjadi fenomena yang membuat saya miris, dimana banyak pihak yang terlalu sangat berharap BUMDes-nya cepat besar, sehingga mengambil jalan pintas dan potong kompas dengan melakukan kerja sama dengan korporasi besar. Jika demikian adanya ujungnya pasti BUMDes hanya akan menjadi pelayan dan tenaga marketing korporasi besar (menjadi kuli dirumah sendiri).

Perlu ada tahapan dan sikap kehati-hatian dalam mendirikan dan pengelolaan BUMDes, bukan sekedar sulapan agar kelihatan hebat dan cepat besar tetapi rapuh daya tahanya.

II. Menuju Kedaulatan Politik Masyarakat Desa Indonesia

Untuk masalah kedaulatan Politik masyarakat Desa Indonesia kita akan kupas tuntas dan bahas habis pada tulisan selanjutnya.

Salam (Semar Bodronoyo / Parade Nusantara)

Sumber https://www.facebook.com/semarbodronoyo.paradenusantara
Diposting oleh Tim Pengelola Informasi Desa Kemlagi