Minggu, 09 Juli 2017

Dana Desa dan Urbanisasi

ilustrasi
www.kemlagi.desa.id - Lebaran 1438 H telah usai, cuti bersama telah kita lalui. Saatnya kita kembali pada rutinitas sehari-hari, namun masih menyisahkan beberapa "pekerjaan rumah" yang selalu timbul sehabis kegiatan mudik lebaran salah-satunya adalah urbanisasi. Pada kesempatan ini kami tampilkan kajian dari salah-satu alumnus program pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang (Paulus Mujiran) tentang bagaimana kontribusi Dana Desa dapat mencegah urbanisasi.

Sudah menjadi tradisi setiap tahun, mudik Lebaran menyisakan problem arus balik. Hanya dalam hitungan hari mudik yang gegap gempita digantikan dengan berbondong-bondong orang mencari pekerjaan dan penghidupan di kota. Meski dari tahun ke tahun jumlahnya terus menurun urbanisasi masih menjadi ciri setelah arus mudik.

Mahayana (2011) menyebut fenomena urbanisasi terjadi pada awal 1970-an ketika Jakarta tampil sebagai kota besar satu-satunya di Indonesia yang mengalami kemajuan luar biasa. Bagi orang desa, kota dengan segala gemerlapnya adalah impian. Michael Lipton (1977) menyebut urbanisasi merupakan refleksi dari kemandekan ekonomi di desa dengan ciri sulitnya mencari lowongan pekerjaan.

Urbanisasi juga cermin fragmentasi lahan serta daya tarik kota dengan penghasilan tinggi. Dengan begitu faktor pendorong dan faktor penarik sama-sama menjadi determinan penting dalam proses urbanisasi.

Urbanisasi dimaknai sebagai kegagalan pembangunan desa ketika orientasi pembangunan berpusat di kota. Urbanisasi juga banyak terjadi di berbagai belahan dunia. Hanya di Indonesia urbanisasi kerap menjadi masalah karena pendatang berpendidikan rendah, kurang keahlian dan tidak bermodal. Pada gilirannya selain membebani kota besar, mereka terjebak dalam kubangan pekerjaan yang tidak jelas.

Maraknya urbanisasi disebabkan oleh pembangunan yang cenderung terpusat hanya di kota-kota besar. Peredaran uang dalam jumlah besar, pertumbuhan industry di kota menjadi magnet kaum urban untuk berbondong-bondong ke kota. Penduduk desa berangkat ke kota karena bertaruh mimpi hendak meraih sukses. Di mata penduduk desa, sukses hanya terjadi ketika merantau dan mencari pekerjaan di kota.
Dibandingkan dengan kondisi perdesaan yang cenderung mandek dari waktu ke waktu, pembangunan di kota sangatlah progresif. Akses jalan misalnya, kota dibangun jalan tol yang mulus, sarana komunikasi memadai, pusat-pusat pendidikan, perbelanjaan dan perdagangan. Pertumbuhan ekonomi kota juga melesat.

Sementara itu, desa cenderung ketinggalan. Desa sampai hari ini masih mengandalkan sektor pertanian. Meski ikon pertanian adalah desa, sejak dulu desa tetaplah memprihatinkan. Di negara agraris ini pekerjaan sebagai petani tidak membanggakan dan menyejahterakan. Ini menegaskan pembangunan yang hanya berpihak pada perkotaan telah menganaktirikan perdesaan dan sektor pertanian.

Tak pelak perdesaan hanya dipandang sebagai kantong kemiskinan, sumber kemelaratan, tertinggal dan pendapatan yang tidak layak. Ketika kota kebanjiran pendatang usia produktif, pada saat bersamaan desa kehilangan sumber daya produktif untuk membangun sector pertanian dan sektor lain di desa.

Mereka yang masih mau bekerja di sektor pertanian dan membangun desa hanyalah orang tua dan mereka yang berpendidikan rendah karena enggan merantau ke kota. Dengan kondisi timpang semacam ini desa tidak pernah bisa bangkit karena memang didesain oleh strategi pembangunan yang keliru dan tidak berpihak. Di masa depan desa hanya seperti “panti jompo” yang berisi lansia kakek dan nenek. Setahun sekali mereka dikunjungi anak cucu dari kota pada saat mudik Lebaran.

Kota dengan segala masalahnya mau tidak mau memunculkan problem kemiskinan, pengangguran, kejahatan yang tidak berujung. Mereka yang berada di kelas menengah ke atas tersiksa dengan kemacetan, maraknya kekerasan dan kriminalitas sementara yang berada di kelas bawah tidak menikmati kehidupan karena daya dukung yang sangat rendah. Mereka miskin namun tidak mau kembali ke desa.

Betapa tidak, mereka harus bertahan dalam gedek-gedek atau bedeng yang kumuh dengan sanitasi lingkungan dan air bersih yang buruk. Kota pada akhirnya hanya menjadi etalase kawasan kumuh di tengah-tengah gedung mercusuar menjulang. Kehidupan perkotaan yang terlalu dipenuhi dengan pekerja-pekerja di sektor informal makin memperlebar jurang kemiskinan.

Karena itu perlu langkah nyata berjangka panjang untuk mengatasi permasalahan ini agar urbanisasi tidak menjelma menjadi ajang pemiskinan baru. Langkah terbaik memutus migrasi kaum urban adalah menciptakan seluas mungkin lapangan pekerjaan di perdesaan. Peluang-peluang usaha harus dibangun di desa. Akses jalan penghubung antara kota dan desa perlu terus dibangun. Pembangunan manusia juga harus diarahkan ke desa secara massif.

Pemerintah memang harus secara sungguh-sungguh dan terencana mengarahkan kegiatan investasi pada sektor pertanian di perdesaan. Perlu ada gerakan mendorong anak-anak muda semenjak di bangku sekolah mencintai pertanian dan produk pertanian. Termasuk mengelola lahan-lahan yang tidak produktif. Program ini dapat dimasukkan dalam kurikulum sekolah yang ada di perdesaan agar mencintai pertanian dan produk pertanian di desa.

Materi pembelajaran juga berpihak pada desa, bukan dengan cara piker kota. Dengan cara itu harus ada stimulan yang membuat sektor pertanian dan perdesaan menarik. Ketika kaum miskin perdesaan tidak mempunyai lahan pertanian, mereka pasti akan meninggalkan desa.

Langkah terbaik memutus urbanisasi kaum urban adalah menciptakan seluas mungkin lapangan pekerjaan di perdesaan. Undang-Undang (UU) No 6 Tahun 2014 tentang Desa dan PP No 14 tentang Implementasi Dana Desa yang mengamanatkan pemerintah agar mengalokasikan dana lebih dari Rp 1 miliar per desa mestinya bisa menjadi solusi. Dan itu sudah direalisasikan dengan gelontoran dana tidak kecil.

Tahun 2017 ini dari 74.954 desa di Tanah Air mendapat dana Rp 60 triliun. Namun fakta di lapangan, dana desa yang diberikan tidak mengangkat sektor ekonomi produktif perdesaan. Perangkat desa tidak memiliki pengetahuan memadai mengenai cara membangun desa yang benar. Lebih banyak dialokasikan untuk membangun talut, jalan, gapura, perbaikan balai kelurahan dan sedikit yang dialokasikan untuk pembangunan manusia dan penyediaan lapangan kerja. Ini tidak salah karena PP No 60/2014 juga mengamanatkan demikian.

Dalam kondisi semacam ini sinergi kebijakan antara pemerintah kota dengan pedesaan perlu dilakukan. Jika citra pedesaan terangkat bukan tidak mungkin ritual urbanisasi tidak terulang di masa-masa mendatang. Kenyataan kota bukan satusatunya pilihan untuk mengubah nasib dan masa depan perlu diajarkan kepada anak-anak muda. Kota sudah jenuh menerima pendatang.

Dana desa harus lebih diberdayakan untuk mengerem laju urbanisasi. Jika ini dikelola dengan baik, arus mudik dan arus balik tidak akan selalu mengulang permasalahan yang sama: urbanisasi. Pemerintah (pusat) harus mengkoordinasikan ke semua pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota untuk memecahkan masalah ini secara komprehensif dan berkelanjutan.

Paulus Mujiran, Pemerhati sosial, alumnus Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang