Jumat, 05 September 2014

Menag tegaskan pemindahan makam Nabi tidak benar

Menag tegaskan pemindahan makam Nabi tidak benar
Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin melakukan klarifikasi ke kedutaan besar Arab Saudi di Jakarta soal pemindahan makam nabi, dan mengatakan bahwa berita itu tidak benar.

Berita soal pemindahan makam Nabi Muhammad langsung menimbulkan reaksi keras dari masyarakat. Maka dari itu, Menteri Agama menemui Mustofa bin Ibrahim al Mubarok di kedutaan besar Arab Saudi di Jakarta untuk melakukan konfirmasi soal pemindahan makam nabi.

Dari pertemuan itu, Lukman mengatakan bahwa pemerintah Arab Saudi tidak pernah memberikan pernyataan soal pemindahan makam itu.

"Melalui saya, Kedutaan Besar Arab Saudi mengatakan bahwa pemerintah Arab tidak pernah mengeluarkan berita semacam itu dan berita itu tidak benar," kata Lukman Hakim Saifuddin di Jakarta, Kamis, (4/9).

Ia menimpali, "Duta besar Arab Saudi melalui saya mengatakan bahwa masyarakat Indonesia tidak usah terpancing emosi karena pemerintah Saudi Arabia berkomitmen untuk melindungi makam nabi."

"Maka telah jelas bahwa pemberitaan itu tidak benar sama sekali. Saya berharap ormas islam dan ulama di Indonesia bisa menerima konfirmasi ini, agar tidak perlu membuang energi pada berita yang tidak berdasar," tambahnya lagi.

Berita tentang pemindahan makam nabi awalnya berasal dari salah satu media Inggris, Independent Day.(*)


Orang desa atau daerah berpeluang jadi presiden

http://assets.kompas.com/data/photo/2014/07/23/203125402-foto90780x390.JPG
Jokowi presien terpilih 2014-2019
http://nasional.kompas.com/ TERPILIHNYA  Joko Widodo sebagai presiden Republik Indonesia telah meletakkan ”sejarah baru” dalam restorasi praktik otonomi daerah di Tanah Air. Satu di antara tujuan utama dari mengapa perlu dihadirkannya desentralisasi dan otonomi daerah, menurut perspektif desentralisasi politik, adalah untuk difungsikan sebagai sarana bagi training in national political leadership.
Melalui praktik desentralisasi akan terjadi proses seleksi dan promosi calon-calon pemimpin nasional secara berjenjang. Para bupati dan wali kota yang secara nyata menunjukkan kapasitas kepemimpinan prima dan prestasi cemerlang dalam memimpin daerah dapat dipromosikan untuk menduduki jabatan gubernur. Demikian juga halnya dengan para gubernur dapat dipromosikan menduduki posisi sebagai presiden.

Secara teoretis, promosi dan perekrutan pemimpin pemerintah dengan sistem berjenjang ini diyakini akan berkorelasi positif terhadap, antara lain, tegaknya prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan (Clarke and Foweraker, 2001: 1). Itulah sebabnya, di Amerika Serikat, misalnya, sebagian besar presiden terpilih adalah mantan gubernur pada negara bagian.

Sejarah baru
Dalam konteks Indonesia setelah berpraktik desentralisasi, promosi dan perekrutan pemimpin nasional untuk jabatan presiden secara berjenjang tersebut baru terjadi pada Pemilu Presiden 2014. Jokowi, sosok ndeso yang pernah menduduki jabatan Wali Kota Solo dan sedang menduduki jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta, telah berperan sebagai pionernya. Peristiwa ini tentunya harus dicatat sebagai kontribusi besar dalam ”restorasi” praktik desentralisasi dan otonomi daerah di Tanah Air.

Rentang waktu panjang tertundanya promosi jabatan presiden secara berjenjang tersebut bukan lantaran ”wahyu keprabon” belum diturunkan di bumi pertiwi. Akan tetapi, disebabkan oleh banyak faktor, antara lain karena sejak awal kemerdekaan hingga periode rezim Orde Baru, sistem politik dan kebijakan desentralisasi yang dirancang dan diterapkan di Tanah Air belum membuka peluang untuk itu.

Kecenderungan mulai berubah pada periode setelah Orde Baru. Spirit reformasi dan komitmen yang kuat untuk merevisi konsep dan kebijakan desentralisi di Indonesia, yang selanjutnya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, secara perlahan-lahan telah berupaya mengurangi dominasi perspektif desentralisasi administrasi dengan mulai mengakomodasi beberapa prinsip desentralisasi politik. Implikasinya, sangat dapat dimengerti apabila kemudian tujuan desentralisasi yang sebelumnya hanya menekankan pada aspek administratif, seperti untuk meningkatkan pelayanan publik dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, sekarang juga telah mengakomodasi tujuan-tujuan politik. Misalnya, untuk demokratisasi di tingkat lokal dan training kepemimpinan.

Pada 2005, Indonesia mulai melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung seiring telah dilaksanakannya pemilihan umum presiden (pilpres) secara langsung pada tingkat nasional. Terlepas dari sejumlah ”bias” pilkada yang terjadi, paling tidak di antara ”dampak positif” yang dapat dicatat adalah pilkada langsung telah berperan sebagai ”pisau bedah” bagi katup sirkulasi elite di tingkat lokal yang sebelumnya relatif tertutup rapat. Sekaligus membuka peluang bagi promosi kepemimpinan nasional secara berjenjang. Terpilihnya Jokowi sebagai presiden RI hasil Pilpres 2014 harus didudukkan dan dimaknai berdasarkan perspektif ini.

Tantangan baru?
Pada satu sisi, terpilihnya Jokowi sebagai presiden harus ”dirayakan” karena telah meletakkan noktah baru dalam sejarah perjalanan desentralisasi di Indonesia, khususnya terkait dengan terwujudnya fungsi training in national political leadership dan promosi kepemimpinan nasional secara berjenjang. Namun, pada sisi lain, juga menyodorkan tantangan baru bagi pembuktian logika teoretis dari fungsi training in national political leadership itu sendiri.

Bagi Jokowi, di antara tantangan berat yang dihadapi adalah harus membuktikan kepada masyarakat bahwa ia memiliki kapasitas kepemimpinan yang tinggi. Sebab, sebelum menduduki posisi sebagai presiden RI, ia pernah melalui proses training kepemimpinan di tingkat pemerintah daerah (Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta). Jika tidak, dikhawatirkan kemenangan Jokowi justru akan ”mendelegitimasi” atau bahkan ”menegasikan” arti penting dari training in political leadership dan proses promosi kepemimpinan nasional secara berjenjang sebagaimana dikemukakan di atas.

Pengalaman dalam memimpin Pemerintah Kota Solo dan Provinsi DKI Jakarta yang sangat singkat (hanya 1,5 tahun) memang dapat dijadikan sebagai modal awal. Namun, tentunya itu masih jauh dari cukup untuk dijadikan sebagai bekal dalam memimpin, lebih kurang, 93 kota, 415 kabupaten, dan 34 provinsi di Indonesia. Karena itu, upaya peningkatan kapasitas kepemimpinan dan revitalisasi pendekatan dalam penyelenggaraan pemerintahan niscaya diperlukan.

Pada konteks inilah kita sampai pada arti penting dari, antara lain, memastikan realisasi dari komitmen Jokowi dalam penunjukan para menteri pembantunya dari kalangan profesional.

Revitalisasi ”blusukan”
Pendekatan blusukan yang selama ini menjadi ciri khas Jokowi ketika memimpin Kota Solo dan Provinsi DKI Jakarta patut diapresiasi. Namun, tentunya perlu dilakukan revitalisasi tatkala akan diterapkan pada konteks pemerintahan nasional. Spirit blusukan tetap harus dipertahankan dalam rangka menjaga kepekaan terhadap aspirasi masyarakat. Namun, aplikasinya tidak selalu harus dalam bentuk kunjungan langsung ke 34 provinsi dan ke 508 kabupaten/kota di Indonesia.

Jokowi, dalam hal ini, dapat melakukannya melalui, antara lain, optimalisasi fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Juga membangun sistem komunikasi politik yang intensif dengan para kepala daerah serta elemen-elemen masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi yang ada.

Pada konteks yang lebih luas, terpilihnya Jokowi sebagai presiden RI juga menyodorkan tantangan baru bagi partai politik di Indonesia. Di antara ”pesan penting yang dibawa” adalah seyogianya ke depan partai-partai politik harus melakukan revitalisasi dan reorientasi sistem pengaderan sedemikian rupa sehingga dapat mendukung kesinambungan dari seleksi dan promosi kepemimpinan nasional secara berjenjang sebagaimana telah dimulai oleh Jokowi.

Syarif Hidayat
Peneliti Bidang Otonomi Daerah, LIPI

Kamis, 04 September 2014

Tinjauan seorang anak desa terhadap beberapa pandangan tentang dana desa

ilustrasi
desakemlagi.blogspot.com/ Seperti kita ketahui bersama bahwa perjuangan elemen peduli desa terhadap kesejahteraan desa sudah dimulai sejak tahun 2006-2007.  Mereka tergabung dalam PPDI, AKDP, Parade Nusantara dan sebagainya berkali-kali mengadakan audiensi atau bahasa lazimnya "unkuk rasa" di DPR maupun Kemendagri terutama menuntut adanya regoknisi atau pengakuan keberadaan desa di Indonesia ini yang tertuang dalam suatu regulasi, disamping itu pula mereka mengharap agar pemerintah pusat mengalokasikan dana langsung untuk desa.  Ada juga elemen peduli desa yang menuntut adanya hapus diskriminasi dengan pengangkatan perangkat desa lainnya menjadi PNS sebagaimana rekan sejawat mereka yang terlebih dahulu di PNS-kan yakni sekretaris desa.

Akhirnya perjuangan mereka mencapai puncaknya yakni dengan adanya undang-undang yang telah disahkan oleh DPR dan ditandatangani oleh Presiden SBY pada tanggal 15 Januari 2014 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7).

Memang masih banyak harapan yang belum terakomodasi dalam undang-undang tersebut diantaranya pengangkatan PNS untuk perangkat desa lainya.  Mereka "legawa" meskipun tak diakomodasi namun mereka bersyukur karena perjuangan untuk kesejahteraan masyarakatnya lebih dapat perhatian dari pemerintah terutama dengan adanya dana desa.

Banyak Pihak Menyangsikan Kemampuan Kades/Perangkat Desa Kelola Dana Desa.

Kebahagiaan pemangku kepentingan di desa (sebagai wujud syukur atas perjuangan dalam mensejahterakan masyarakat desa) bukanlah masalah bantuan dana-nya saja, tetapi yang terpenting adalah perjuangan mereka hanyalah untuk kepentingan "wong ndeso".

Namun seiring berjalannya waktu,  banyak pihak yang mengganggap sebelah mata apakah Kades atau Perangkat Desa nantinya mampu mengelola dana yang besar tersebut, atau jangan-jangan nanti dikorupsi dan banyak dari mereka yang akhirnya masuk bui ? Hal tersebut wajar untuk kondisi jaman sekarang ini, namun apakah yang menganggap sebelah mata itu pernah menjadi Kades atau Perangkat Desa atau minimal tahu tentang tugas dan tanggung jawab para pemangku kepentingan desa ?

Untuk lebih jelasnya, berikut ini kami tampilkan beberapa pandangan dari nara sumber :

Meskipun begitu, selaku pemangku kepentingan di desa tetap berharap agar masyarakat ikut terlibat pada program dana desa ini, sebagaimana harapan KPK terhadap masyarakat. untuk ikut mengawasi dana desa. 

Kesimpulan

Adanya UU Desa terlebih dengan terbitnya PP Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN (meskipun aturan turunannya belum ada) merupakan langkah awal yang baik untuk memajukan desa.  Sedangkan masalah pengeloaan dana, para pemangku kepentingan di desa dan terutama masyarakat sudah terbiasa menangani program sejenis PNPM (walaupun ada beberapa kasus di daerah dengan PNPM ini) apalagi nantinya pemerintah akan menggunakan pendekatan PNPM dalam pengeloalaan dana desa yang dari APBN.  Itu artinya sudah tidak perlu disangsikan lagi tentang kemampuan pemangku kepentingan di desa tentang pengelolaan dana desa (yang utama adalah bagaimana aturan mainnya)

Untuk mensukseskan program dana desa ini haruslah melibatkan seluruh komponen yang ada, mulai dari pemerintah pusat sampai pemerintah desa, lembaga pemerintah mapunun swasta dan yang terpenting adalah masyarakat desa itu sendiri.

Semoga desa di Indonesia menjadi desa yang maju. Amin

Rabu, 03 September 2014

Tahun Depan PNPM Masuk ke Dana Desa

Tahun Depan PNPM Masuk ke Dana Desa
Dana desa - illustrasi
JAKARTA - Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri pada 2015 dinitegrasikan menjadi dana desa. 

Jika dikumpulkan dari 13 kementerian yang menangani PNPM sebesar Rp27 triliun dapat mengentaskan kemiskinan dan permasalahan kesenjangan di desa.

Deputi Bidang Penaggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra) Sujana Royat mengatakan 1 Januari 2015 dana PNPM tidak lagi masuk dan dikelola oleh kementerian melainkan langsung menjadi dana desa.

Dari 13 kementerian seperti Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Perumahan Rakyat dan Kemenko Kesra hanya akan menjadi fasilitator serta memonitoring dana tersebut.

"Jadi nanti langsung masuk ke dana desa, dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) langsung ke rekening kabupaten/kota," tandasnya saat ditemui di Jakarta, Selasa 2 September 2014.

Namun, dirinya mengingatkan dana desa hanya boleh digunakan untuk program-program pembangunan desa.  Dana PNPM diupayakan menyentuh semua desa di Indonesia.


Minggu, 31 Agustus 2014

Dana desa dalam berita

Legislator : dana desa berpeluang kembangkan SDM desa
Legislator : dana desa berpeluang kembangkan SDM desa
Budiman Sudjatmiko
Sumber: http://www.antaranews.com Yogyakarta (ANTARA News) - Anggota DPR RI Budiman Sudjatmiko berpendapat alokasi dana desa yang dianggarkan pemerintah sesuai Undang-Undang Desa berpeluang digunakan untuk mengembangkan kapasitas sumber daya manusia yang ada di desa.

"Dengan alokasi dana desa (ADD) Rp1,4 miliar per tahun, masing-masing desa misalnya dapat mencetak 1 atau 5 doktor-doktor desa, yang khusus disiapkan untuk mengembangkan desanya," kata Budiman dalam diskusi "Agenda Presiden Baru tentang Pembaruan Desa dan Reforma Agraria" di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Selasa.

Jadi dengan SDM yang berkualitas, menurut dia, kemungkinan besar akan mampu meningkatkan dan memajukan potensi desanya. Ia mencontohkan SDM yang memiliki kepakaran di bidang Teknologi Informasi (TI) sangat diharapkan dimiliki masing-masing desa untuk berkontribusi mengembangkan desa.

"Jadi kalau masing-masing desa rata-rata dianggarkan Rp1,4 miliar, mungkin tiap desa bisa menyisihkan Rp250 juta untuk mencetak 5.000 doktor," kata politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.

Ia mengatakan alokasi dana desa sesuai UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, bukan hanya untuk menggaji pejabat desa serta pembangunan fisik desa saja, melainkan juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan desa, dapat ditempuh melalui peningkatan kapasitas SDM.

"Jadi UU Desa bukan hanya mengatur jabatan desa saja, tapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan desa juga," kata dia.

Sementara itu, menurut Budiman, upaya merealisasikan UU Desa memerlukan pemerintahan yang demokratis dan betul-betul memiliki kepedulian khusus untuk pembangunan desa.

"Implementasi UU Desa benar-benar memerlukan rezim politik yang demokratis. Kalau otoriter tentu tidak mau, karena ideologinya lain," kata dia.

Pengamat politik UGM Arie Sujito mengatakan dengan disahkannya UU Desa, program pembaharuan desa akan memiliki peluang besar diwujudkan oleh pemerintahan baru mendatang.

"Saya kira pembaharuan desa serta reforma agraria akan mampu diwujudkan pada pemerintahan Jokowi, karena memiliki visi-misi yang sejalan dengan program tersebut," kata dia.


Alokasi dana desa idealnya Rp64 triliun
Alokasi dana desa idealnya Rp64 triliun
Menteri Keuangan Chatib Basri
Sumber: http://www.antaranews.com Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan alokasi dana desa yang ideal diberikan untuk pembangunan desa adalah sebesar 10 persen dari dana transfer ke daerah yang dialokasikan dalam RAPBN 2015, yaitu Rp64 triliun.

"Menurut UU Desa, harus 10 persen dari dana transfer ke daerah, jadi kalau sekarang dana transfernya Rp640 triliun, maka idealnya harus Rp64 triliun," katanya di Jakarta, Selasa.

Chatib mengakui alokasi dana desa yang ditetapkan dalam RAPBN 2015 sebesar Rp9,1 triliun masih belum memadai, karena dana tersebut diambil dari anggaran lama Kementerian Lembaga untuk program kesejahteraan desa.

"Rp9,1 triliun itu adalah anggaran Kementerian Lembaga yang memang dipakai untuk desa. Itulah makanya start awal dari dana desa. Kalau tidak cukup, nanti ditambah saja oleh pemerintahan baru," ujarnya.

Chatib mengatakan pemerintahan saat ini yang menyusun RAPBN 2015 tidak bisa menambah alokasi dana desa, karena RAPBN hanya bersifat "baseline budget" untuk kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan pada masyarakat.

"Programnya nanti dibuat pemerintahan baru, sekarang alokasinya masih menggunakan dana yang dipakai untuk PNPM dan lain-lain, karena ini hanya baseline. Kalau mau ditambah, silahkan saja dengan mempertimbangkan aspek fiskalnya," ujarnya.

Dana desa merupakan salah satu bagian dari dana transfer ke daerah, yang menurut amanat UU nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dialokasikan pemerintah untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.

Penyaluran dana desa kepada masyarakat dilakukan melalui mekanisme transfer dengan memperhatikan beberapa indikator, antara lain seperti jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah serta tingkat kesulitan geografis.

Selain dana desa, setiap desa juga mendapat alokasi dana yang bersumber dari APBD kabupaten atau kota berupa, bagian hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten atau kota, sebesar kurang lebih 10 persen.

Desa juga mendapatkan alokasi dana desa paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten maupun kota setelah dikurangi dana alokasi khusus, serta bantuan keuangan dari APBD provinsi dan APBD kabupaten maupun kota.


SDM lemah, pengelola dana desa rentan masuk bui
SDM lemah, pengelola dana desa rentan masuk bui
Rupiah
Sumber: http://www.merdeka.com Merdeka.com - Menteri Keuangan Chatib Basri mengingatkan implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2004 tentang dana desa harus diiringi peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kalau pengelola uang Rp 1 miliar untuk tiap desa itu tidak mengerti pembukuan dan prinsip akuntansi, pengelola keuangan desa rentan dikriminalisasi. "Mungkin tidak ada maksud fraud, kasihan saudara-saudara kita kalau disalahkan karena ketidaktahuan," ujarnya di komplek DPR, Jakarta, Kamis (28/8).

Apalagi audit dari Badan Pemeriksa Keuangan biasanya hanya memantau kesesuaian kuantitatif. Makin besar potensi aparat desa melanggar hukum hanya karena tidak hati-hati merinci penggunaan dana desa.

Penerima dana Rp 1 miliar itu mencapai 72.900 desa. Penilaian Kementerian Keuangan, tidak semuanya biasa mengelola anggaran bernominal besar. Chatib makin khawatir, karena dari 57 kabupaten dan kota hasil pemekaran, hanya 4 daerah mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK. "Bayangkan, untuk daerah otonom mayoritas belum baik laporan keuangannya. Kita saja di pusat masih sering keliru." katanya.

Ketua BPK Rizal Djalil membenarkan ada risiko kriminalisasi pada pengelola dana desa. Apalagi penyiapan kualitas SDM tidak terlihat serius digarap pemerintah daerah. Besarnya alokasi dana bantuan pusat kepada daerah itu bahkan kini jadi incaran pemburu rente. "Sampai ada lelucon caleg yang gagal sekarang ramai-ramai mendaftar jadi kades karena dananya lebih jelas," kata Rizal.

Chatib merasa pemerintah daerah dan pusat harus bekerja sama membekali kemampuan anggaran para pamong desa. Jangan terlalu fokus pada euforia alokasi anggaran besar untuk pedesaan. "Kapasitas SDM ini yang membutuhkan proses gradual, kualitas SDM juga harus ditingkatkan."

Dalam RAPBN 2015, dana desa baru dianggarkan Rp 9,1 triliun. Kemenkeu menyebut angka itu sangat mungkin diutak-atik. Bahkan kalau perlu mendekati amanat undang-undang, yakni 10 persen di luar dana transfer daerah. Dana Rp 9,1 triliun yang dianggarkan buat tahun depan itu diambilkan dari porsi PNPM Mandiri selama ini.

Anggota Komisi II DPR Budiman Sudjatmiko mengkritik RAPBN 2015 karena tidak memberi terobosan anggaran buat desa. Selain hanya memindahkan pos anggaran PNPM menjadi anggaran dana desa, jumlahnya malah cenderung turun jika dana PNPM dibandingkan dengan total APBN 2013.

"Hemat saya, semestinya pemerintah mampu memaksimalkan anggaran dana desa sampai 5 persen dari dana transfer daerah, atau sekitar Rp 32 triliun," kata Budiman.


Kemendagri Siapkan Aturan Cegah Korupsi Dana Desa
Rupiah
Sumber: http://www.jpnn.com/ JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah merumuskan perangkat aturan untuk mencegah aparat meyelewengkan Dana Desa. Ini untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di tingkat aparat desa.

Dana Desa tersebut merupakan amanat Undang-Undang Desa, yakni setiap desa akan mendaptkan anggaran lebih dari Rp 1 miliar dari negara.
Eko Prasetyanto, Direktur Pemerintah Desa dan Kelurahan Kemdagri, bilang, aturan itu berupa peraturan menteri dalam negeri (permendagri) agar pengelolaan dana desa bisa benar-benar efektif, transparan, akuntabel, dan memberi manfaat besar ke masyarakat.

Secara substansial, isi ketentuan di dalam Permendagri tersebut akan sama dengan Permendagri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa.

Rencananya, Kemdagri juga akan memberikan pendampingan kepada pemerintah desa agar pengelolaan dana desa bisa efektif dan transparan.

"Kami pikir tidak akan ada masalah, sejak lima tahun kami sudah bentuk modul training of trainer untuk memperkuat dan melatih pemerintah desa, dan ini terlihat. Saat ini sudah ada desa yang mengelola sampai Rp 1 miliar dan bahkan Rp 4 miliar per tahun tapi tidak ada masalah," kata Eko, pekan lalu.

Budiarso Teguh Widodo, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Daerah Kementerian Keuangan, bilang, pencairan Dana Desa akan berlangsung tiga kali. Pertama, sebesar 40% yang paling lambat minggu kedua April 2015. Tahap kedua, sebanyak 40% paling lambat minggu kedua  Agustus 2015.

Dan tahap ketiga, sebesar 20%, maksimal pada minggu kedua November 2015. Dana akan dicairkan dari rekening kas umum negara (RKUN) ke rekening kas umum daerah (RKUD) di tingkat kabupaten/kota. (adv/kontan/otda.kemendagri.go.id)

PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yg bersumber dari APBN klik disini