Rabu, 27 Juli 2016

Kemiskinan di Tengah Guyuran Dana Desa

http://www.jawapos.com/imgs/2016/07/41560_60004_ok-wiko%20saputra.jpg
Wiko Saputra
Oleh WIKO SAPUTRA *)
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka kemiskinan yang merupakan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2016. Hasilnya mengejutkan: angka kemiskinan di pedesaan meningkat menjadi 14,11 persen.

Sebelumnya, berdasar hasil Susenas September 2015, angka kemiskinan sebesar 14,09 persen. Selain itu, yang merisaukan adalah indeks keparahan kemiskinan dan indeks kedalaman kemiskinan di pedesaan juga meningkat tinggi.

Indeks keparahan kemiskinan yang menunjukkan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin meningkat dari 0,67 menjadi 0,79. Sedangkan indeks kedalaman kemiskinan yang merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan meningkat dari 2,40 menjadi 2,74.

Data statistik ini memberikan makna, selain terjadi peningkatan angka kemiskinan di pedesaan, ada tren semakin timpang dan parahnya kondisi kemiskinan di pedesaan. Ini menjadi peringatan keras bagi pemerintah. Sebab, itu berarti pemerintah gagal mengatasi persoalan kemiskinan di pedesaan.
Padahal, pemerintah sudah mengguyur dana yang sangat besar melalui kebijakan dana desa.

Sepanjang tahun 2015, dana desa yang sudah disalurkan mencapai Rp 20,7 triliun. Sedangkan tahun 2016, di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016 yang sudah disahkan, pemerintah menetapkan pagu dana desa mencapai Rp 46,9 triliun.

Efektivitas Dana Desa

Jadi aneh ketika desa kebanjiran dana, tapi angka kemiskinan dan tingkat keparahan kemiskinannya justru meningkat. Apa sebenarnya yang mengakibatkan hal tersebut?

Faktor utama yang mendorong peningkatan angka kemiskinan di pedesaan adalah kenaikan garis kemiskinan yang dipicu oleh meningkatnya inflasi di pedesaan. Inflasi mendorong harga-harga naik, terutama harga bahan makanan. Padahal, komponen bahan makanan merupakan komponen utama pengukuran garis kemiskinan, menyumbang 77,44 persen garis kemiskinan di pedesaan.

Tingginya inflasi komponen makanan di pedesaan disebabkan masalah sistem rantai pasokan. Desa yang sebenarnya kaya dengan sumber bahan makanan, tapi yang dihasilkan hanya berupa bahan mentah yang masih butuh pengolahan lanjutan.

Dan, industri pengolahan tidak tersedia di desa sehingga rantai pasokan menjadi panjang. Itu diperparah buruknya sistem logistik di pedesaan. Sebab, dengan infrastruktur transportasi yang tidak tersedia secara baik, otomatis semakin meningkatkan harga bahan makanan di pedesaan.

Persoalan minimnya industri pengolahan bahan makanan dan buruknya infrastruktur transportasi di pedesaan merupakan persoalan klasik yang harus segera dicarikan solusinya. Sistem pembangunan yang sentralistik, menumpuk sumber ekonomi di perkotaan, telah menimbulkan ketimpangan pembangunan antara kota dan desa. Walaupun desentralisasi pembangunan sudah berjalan sejak 2001, meski tidak menyentuh langsung ke pedesaan.

Munculnya Undang-Undang (UU) No 6 Tahun 2014 tentang Desa membuka peluang peningkatan akselerasi pembangunan pedesaan. Sebab, salah satu mandat dari UU Desa adalah transfer fiskal ke desa dalam bentuk dana desa.

Merujuk aturan teknis alokasi dana desa, ada dua prioritas. Yaitu, untuk pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Untuk pembangunan desa diarahkan menuju peningkatan pembangunan infrastruktur desa dan pengembangan potensi ekonomi desa. Sedangkan pemberdayaan masyarakat desa diarahkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.

Tentu yang menjadi pertanyaan besar saat ini, ke mana dana desa tersebut mengalir? Jika merujuk ke guyuran dana yang sangat besar ke desa, seharusnya berdampak terhadap perbaikan pembangunan desa, terutama pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas perekonomian desa, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Sehingga bisa efektif untuk menurunkan angka kemiskinan di pedesaan.

Tapi, kondisinya terbalik, guyuran dana desa yang sangat besar justru meningkatkan angka kemiskinan di pedesaan. Artinya, ada kesalahan implementasi dari alokasi dana desa. Banyak temuan di lapangan yang menunjukkan arah ke sana.

Salah satunya adalah banyak desa yang tidak menyalurkan dana desa sesuai peruntukan. Hal ini disebabkan ketidakpahaman aparatur desa dalam pengelolaan dana. Juga, ada moralhazard dari oknum aparatur desa yang memanfaatkan dana untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Malahan, ada juga pemerintah daerah yang menghambat penyaluran dana desa.

Tentu problem ini harus segera dibenahi oleh pemerintah. Penyederhanaan petunjuk teknis alokasi dana desa dengan fokus ke peningkatan pembangunan desa dan kesejahteraan masyarakat desa mendesak untuk dilakukan saat ini.

Pembangunan infrastruktur desa harus dijadikan stimulus untuk menggenjot potensi desa. Terutama potensi pangan. Sehingga, penyediaan bahan makanan bisa langsung dihasilkan dari desa.

Pembangunan infrastruktur desa juga diarahkan untuk perbaikan sistem logistik ke desa. Penting membuka akses jalan ke desa agar akses bahan makanan lebih mudah dan murah dijangkau oleh masyarakat.

Peningkatan kesejahteraan masyarakat desa bisa digenjot melalui peningkatan program ekonomi produktif. Salah satu yang bisa dilakukan adalah membangun badan usaha milik desa (BUMDes) yang bisa membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat desa. Agar memberikan dampak terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat desa dan mengatasi persoalan kemiskinan. (*)

*) Peneliti Kebijakan Ekonomi Publish What You Pay Indonesia dan penelaah ahli The SDGs Review

Sumber http://www.jawapos.com/

Reshufle Kabinet, Presiden Jokowi: Agar Kabinet Kerja Bisa Bekerja Lebih Cepat, Lebih Efektif

http://setkab.go.id/wp-content/uploads/2016/07/Reshufle-300x191.jpg
Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berfoto bersama para menteri yang bergeser jabatan dan para menteri baru kabinet kerja, di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (27/7) siang.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, dirinya selalu ingin berusaha maksimal agar kabinet kerja bisa bekerja lebih cepat, bisa bekerja lebih efektif, bekerja dalam tim yang solid, yang saling mendukung, sehingga hasilnya nyata dan dalam waktu yang secepat-cepatnya.

“Berdasarkan pertimbangan tersebut, hari ini saya dan Wakil Presiden memutuskan melakukan perombakan kabinet kerja yang kedua. Kami melakukan pergeseran beberapa menteri dan ketua lembaga,” kata Presiden dalam keterangan pers bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla, di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (27/7) siang.

Dalam kesempatan itu Presiden Jokowi mengumumkan perombakan Kabinet Kerja, yang meliputi pergeserah terhadap 4 (empat) menteri, yaitu: 1. Luhut Binsar Pandjaitan (dari Menko Polhukam menjadi Menko Kemaritiman); 2. Bambang Brodjonegoro (dari Menteri Keuangan menjadi Menteri PPN/Kepala Bappenas); 3. Sofyan Djalil (dari Menteri PPN/Kepala Bappenas menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang); dan 4. Thomas Trikasi Lembong

Selain itu untuk penyegaran, Presiden Jokowi menunjuk 9 (sembilan) menteri baru dalam kabinet kerja kali ini, yaitu: 1.Wiranto (Menko Polhukam); 2. Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan); 3. Eko Putro Sanjono (Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi); 4. Budi Karya Sumadi (Menteri Perhubungan); 5. Muhajir Efendi (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan); 6. Enggartiasto Lukito (Menteri Perdagangan); 7. Airlangga Hartarto (Menteri Perindustrian); 8. Archandra Tahar (Menteri ESDM); dan 9. Asman Abnur (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi).

Hadapi Tantangan Tidak Ringan

Dalam pengantarnya sebelum mengumumkan perombakan kabinet, Presiden Jokowi mengatakan, menenjelang 2 (dua) tahun pemerintahan, kita menghadapi tantangan-tantangan yang tidak ringan. “Kita harus menyelesaikan masalah kemiskinan, kita harus mengurangi kesenjangan ekonomi yang kaya dengan yang miskin, kensenjangan antar wilayah. Inilah masalah yang harus kita percepat penyelesaiannya,” ujarnya.

Untuk itu, lanjut Presiden, kita harus memperkuat ekonomi nasional untuk menghadapi tantangan-tantangan ekonomi global, tantangan ekonomi dunia yang sedang melambat sekaligus penuh persaingan, penuh kompetisi.

“Kita harus membuka lapangan kerja seluas-luasnya untuk rakyat, untuk mengurangi pengangguran, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,” tegas Presiden.

Diakui Presiden, bahwa tantangan –tantangan terus berubah dan membutuhkan kecepatan dalam bertindak, kecepatan  dalam memutuskan. “Kita harus bertindak yang langsung dirasakan oleh rakyat, yang dinikmati oleh rakyat dalam jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang,” terang Presiden.

Oleh karena itu, Presiden Jokowi menegaskan,  dirinya selalu ingin berusaha maksimal agar kabinet kerja bisa bekerja lebih cepat, bisa bekerja lebih efektif, bekerja dalam tim yang solid, yang saling mendukung, sehingga hasilnya nyata dan dalam waktu yang secepat-cepatnya.

“Berdasarkan pertimbangan tersebut, hari ini saya dan wakil presiden memutuskan melakukan perombakan kabinet kerja yang kedua,” jelas Presiden.

Presiden menekankan, bahwa remangat perombakan kabinet kerja ini adalah penguatan kinerja pemerintahan, kabine yang bekerja cepat, dalam tim yang solid dan kompak, kabinet yang bekerja untuk rakyat, memberikan manfaat yang nyata, dan dirasakan oleh rakyat. “Untuk itu, setelah jam 13.30 dilantik, akan langsung bekerja untuk mengikuti sidang paripurna,” pungkasnya.

Inilah Nama-Nama Menteri Yang Bergeser dan Nama-Nama Menteri Baru Kabinet Kerja

Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno, dan Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung secara resmi mengumumkan perombakan atau reshufle kabinet, di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (27/7) siang.

Ada 4 (empat) nama menteri yang mengalami pergeseran tempat dari posisinya semula, dan ada 9 (sembilan) nama baru yang masuk dalam gerbong kabinet kerja kali ini. Berikut nama-nama menteri yang mengalami pergeseran posisi, dan nama-nama baru yang memegang posisi menteri pada kabinet kerja 2014 – 2019, yaitu:

  1. Luhut Binsar Pandjaitan, sebelumnya Menteri Koordinator (Menko) bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) menjadi Menko Kemaritiman;
  2. Bambang Brodjonegoro, sebelumnya Menteri Keuangan menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas);
  3. Sofyan Djalil, sebelumnya Menteri PPN/Kepala Bappenas menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional; dan
  4. Thomas Trikasih Lembong, sebelumnya Menteri Perdagangan menjadi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).



Adapun nama-nama baru yang masuk dalam jajaran kabinet kerja periode 2014 – 2019 adalah:

  1. Wiranto sebagai Menko Polhukam
  2. Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan;
  3. Eko Putro Sanjoyo sebagai Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi;
  4. Budi Karya Sumadi sebagai Menteri Perhubungan;
  5. Muhajir Effendi sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan;
  6. Enggartiasto Lukito sebagai Menteri Perdagangan;
  7. Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian;
  8. Archandra Tahar sebagai Menteri ESDM; dan
  9. Asman Abnur sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.


Sumber http://setkab.go.id/

Senin, 25 Juli 2016

APARAT DESA PERLU PENDAMPING

http://binapemdes.kemendagri.go.id/files/large/7d251cf10397969c029ee15f514c40f2.jpg
Kasubdit Pengembangan Kapasitas Aparatur Desa Wilayah II
“Kita baru saja selenggarakan TOT bagi para pelatih peningkatan kapasitas aparatur desa di 4 hotel di Jakarta, pada 22 – 28 Juni 2016. Berdasarkan rencana pelatihan yang kita persiapkan, ada kurang lebih 2.200 an orang yang kita latih”, jelas Latif Maulana Razak, S.Sos, M.Si di ruang kerjanya yang menjabat sebagai Kasubdit Pengembangan Kapasitas Aparatur Desa Wilayah II.

Menurut Latif Maulana Razak, S.Sos, M.Si, kegiatan ini penting bagi perangkat desa di seluruh Indonesia karena dengan terbitnya UU No 6/2014 tentang Pemerintahan Desa atau yang dikenal sebagai UU Desa, setiap tahun Negara Republik Indonesia akan mengalokasikan dana ke desa dalam jumlah yang relatif tidak sedikit.  Kosekuensinya, perangkat desa mampu atau tidak mampu mengelola dana dengan baik, desa akan terus menerima dana tersebut. Oleh karenanya, memberikan pembekalan kepada aparatur desa agar mereka tidak terjerumus kasus hukum di satu sisi dan dapat mengolah dana tersebut dengan sebaik-baiknya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat desa, adalah sebuah keharusan.

“Kita mengambil langkah untuk menguatkan aparatur desa secara berjenjang. Pertama MOT (Master of Trainer), sudah kita laksanakan pada beberapa bulan lalu. Kemudian dilanjut dengan TOT (Training of Trainer), kita laksanakan tanggal 22 – 28 Juni 16”, lanjutnya.

Lebih lanjut di jelaskan bahwa memahami luasnya cakupan geografis wilayah Indonesia dari ujung Barat sampai Timur, di mana tersebar di sana 74 ribu desa lebih, maka vareasi persoalan yang dihadapi oleh aparatur desa pasti luar biasa. Untuk wilayah Jawa, persoalan tidak seberat di desa-desa seperti di Sumatera terlebih di wilayah kepulauan, di Kalimantan yang banyak didominasi wilayah yang akses transportasi dan komunikasi masih sangat rawan, demikian pula di Maluku dan Maluku Utara  apa lagi di Papua. Mendistribusikan dan mengadministrasikan keuangan Dana Desa secara transparan dan akuntabel adalah hal yang tidak mudah. Oleh karenanya pemerintah betul-betul harus membantu dan mendampingi mereka. Dan tugas ini tentu saja bukan hanya menjadi tanggung jawab Kemendagri saja tetapi harus menjadi tanggung jawab Negara Republik Indonesia. Lembaga dan Kementerian terkait harus ikut memikirkan desa.

Tentang pendamping, Kemendagri juga akan menyiapkan tenaga pendamping aparatur desa. “Kita ingin ide kawan-kawan Kemendes yang sudah melibatkan pendamping desa non PNS, yang tugasnya mendampingi masyarakat. Dengan kendala-kendala di lapangan yang demikian kompleks, maka kita juga akan menyiapkan pendamping desa bagi aparatur desa. Para pendamping aparatur desa ini nanti dipersiapkan dari aparatur juga, dan yang paling efektif dan efisien tanpa harus menyiapkan gaji tersendiri, adalah dari kecamatan. Karena tidak efektif kalau pendamping aparatur desa adalah non aparatur. Logikanya sederhana, untuk mendampingi aparatur desa harus didampingi oleh aparatur juga yang memiliki hierarki dan kesamaan tugas dan fungsi. TOT untuk pendamping desa ini akan kita selenggarakan pada September tahun ini ”, jelasnya.

Minggu, 24 Juli 2016

Tukang Sapu Bergelar Doktor

http://radarsurabaya.jawapos.com/imgs/2016/07/2479_19275_doktor%20tukang%20sepatu.jpg
Kabag Hukum Kab.Sidoarjo, Heri Soesanto
Keinginan untuk mengubah nasib menjadi lebih baik sangat kuat menancap di pikiran Heri Soesanto sejak ABG. 

Di usia 12 tahun, dia merantau ke Sidoarjo dengan hanya berbekal ijazah SMP-nya. Pernah menjadi tukang sapu, kini menjadi PNS dengan menduduki Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

PADAHAL, sejak kecil Heri mengaku tidak pernah memiliki cita-cita. Dia hanya memiliki satu keinginan; mengubah nasib.

Sehingga beberapa hari setelah mendapatkan ijazah SMP, Heri merantau dari kampung halamannya di Ponorogo ke Sidoarjo untuk tinggal bersama kakak tertuanya.

Di Kota Delta ini, anak ke 9 dari 10 bersaudara ini melanjutkan sekolah di SMA swasta. Begitu lulus, Heri mencari pekerjaan apa saja yang bisa menghasilkan uang.

Pernah dia bekerja sebagai sales obat. Karena sering menawarkan obat di RSUD Sidoarjo, pada 1988 dirinya melihat ada lowongan pekerjaan untuk menjadi cleaning service.

“Saya mendaftar dan diterima, cuma tidak ditempatkan di RSUD,” ceritanya.Berikutnya tahun 1988, dirinya ditempatkan sebagai tukang sapu dan penjaga di kawasan GOR. Pada pagi hari dia membersihkan rumput dan jalanan di sekitar GOR, malamnya menjaga lapangan tenis.

Dari sinilah ia mendapat pengalaman menyeramkan tapi mengubah garis hidupnya. Saat berjaga malam, ayah tiga anak ini sering mendengar mesin ketik di ruangan TU sering berbunyi sendiri. Ia ketakutan.

Tapi dari ketakutan itulah dia mengusir rasa takutnya dengan justru belajar mengetik. “Daripada saya takut lihat mesin ketik itu berjalan sendiri, mending saya pakai untuk belajar mengetik,” kata dosen pascasarjana hukum Ubhara ini.

Tahun 1991, Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan, Keuangan, dan Aset (DPPKA) Sidoarjo saat itu datang ke GOR.Dia bertanya mengenai keterampilan Heri mengetik. Esoknya, Heri diminta datang ke kantor DPPKA untuk dites dan dia diterima.

Singkatnya, Heri menjadi staf di bagian penetapan pajak DPPKA. Sejak bekerja di kantor itu, semangat Heri meneruskan sekolah pun muncul.Di tahun yang sama, dia kuliah di jurusan hukum di Universitas Jenggala Sidoarjo dan diwisuda tahun 1995.

Selanjutnya, pernah dimutasi di bagian staf analisa jabatan evaluasi dan fungsi di Bagian Organisasi Pemkab Sidoarjo, lantas tahun 1998 dirinya dipindah di bagian hukum dan sempat pula sebagai kepala bagian hukum dan humas di KPU Sidoarjo.

“Kemudian pada 2006 saya kembali lagi ke Bagian Hukum untuk menjadi kepala sub bagian kajian dan dokumentasi hukum,” ucap pria 48 tahun ini.Karena nyemplung ke bagian hukum lagi, Heri memutuskan melanjutkan studi S2 jurusan hukum di Ubhara. Kariernya terus menanjak pada 2012 saat dia menjadi Kepala Bagian Hukum hingga saat ini.

Pada tahun yang sama, dia melanjutkan studi S3 jurusan hukum di Universitas Brawijaya dan baru saja lulus pada 2015 lalu dengan predikat cumlaude.

Menjadi salah satu pejabat di Sidoarjo, dosen, sekaligus doktor memang membuat Heri merasa bangga. Dirinya pun tidak menyangka bisa menjadi lebih dari yang pernah dia cita-citakan. 
“Padahal dulu cuma ingin kerja agar bisa hidup layak, alhamdulillah sekarang bisa sukses,” ujar pria yang tinggal di Perum Auri ini.

Sumber http://radarsurabaya.jawapos.com/