Jumat, 19 Februari 2016

Belajar Mengolah Samah Di Panggungharjo Sewon

http://www.keuangandesa.com/wp-content/uploads/2015/11/Belajar-Sampah-di-Panggungharjo-Sewon-381x260_c.jpg
Petugas RPS
Desa Panggungharjo Kecamatan Sewon Kebupaten Bantul sudah dua tahun merintis tata pengelolaan sampah. Meskipun bukanlah satu-satunya desa di DIY yang mengelola produksi sampah dihasilkan rumah tangga warganya, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) cukup menginspirasi sejumlah aktivis pemberdayaan desa seperti dilakukan NGO dari Kendari, Sulawesi bekerjasama dengan Yayasan Penabulu, beberapa waktu lalu menjadikan Rumah Pengolahan Sampah (RPS) sebagai wahana belajar mengenal sistem pengelolaan sampah dilingkup desa.

Rombongan belasan aktivis pemberdayaan desa tengah mengikuti workshop tata kelola pemerintahan desa dipimpin langsung manager program Desa Lestari Yayasan Penabulu, Felicitas Ani Purwani, untuk menyaksikan langsung dari dekat pengelolaan sampah Panggungharjo. Didampingi jajaran direksi BUMDes, peserta berkesempatan menggali informasi tata kelola pengelolaan sampah, kiat, hingga tata manajemen bumdesa.Direktur Bumdes Panggungharjo, Gatot, mengatakan, wilayah desa yang luas, jumlah pendudukan yang besar, pertumbuhan penduduk cukup pesat dengan pertumbuhan penduduk, sampah dinilai akan menjadi salah satu permasalahan.

“Akhirnya kita dan desa menangkap masalah ini dengan merintis BUMDes. Dua tahun ini kami beroperasi,” kata Gatot kepada pengunjung.Perjuangan Gatot dan beberapa aktivis desa bukan tidak menemukan hambatan. Hingga menginjak tahun ketiga bumdes ini beroperasi tidak semua anggota keluarga Panggungharjo selaku produsen sampah otomatis menjadi pelanggan. Sampai saat ini, jumlah pelanggan jasa bumdes baru menjangkau kurang dari 1.500 Kepala Keluarga (KK) dari keseluruhan sebanyak 8.000 KK. Selebihnya, banyak KK di Panggungharjo memilih mengikuti pengelola sampah swasta lain yang justru menjadi kompetitor bumdes. 

“Kami pakai kode etik menghadapi kompetitor karena juga menyadari munculnya bumdes sampah ini lebih dulu pihak swasta,” tambahnya. Namun demikian, Gatot meyakini, bumdes yang dipimpinnya akan menunjukkan progres baik. Lebih-lebih tingkat warga penunggak bayar sampah cukup rendah yakni hanya sekitar 5 persen dari total pelanggan. Ia membagi cara dalam mengatasi tingginya penunggak sistem bayar bulanan dengan menggandeng PKK yang ada di dusun. Secara tidak langsung PKK dusun menjadi agen pemungutan tarif sampah Rp.10.000 per KK per bulan. 

Dengan melibatkan PKK sebagai agen penarik pungutan sampah setiap bulannya relatif lancar.“Ada share hasil dengan kerjasama PKK. Jadi pungutan juga mempengaruhi pemasukan PKK juga,” imbuh Gatot sembari mengurai dibedakannya nilai tarif pelanggan rumah tangga dan tempat usaha.Ia menambahkan dua tahun ini belum bisa memberikan pemasukan pendapatan uang kepada desa. 

Pasalnya, hasil pemungutan jasa sampah pelanggan berkisar Rp. 30 juta per bulan ini masih berkutat untuk membiayai tingginya kebutuhan operasional harian, penambahan aset, dan pembayaran karyawan tenaga jemput sampah.

Operasionalisasi penjemputan sampah di pelanggan warga Desa Panggungharjo ke titik pelanggan dilakukan dengan tiga armada yakni satu kendaraan roda empat dan dua unit sepeda motor roda tiga. Dari sampah yang diproduksi rumah tangga di Panggungharjo, pihak manajemen menyiapkan tenaga pilah. Sampah yang bernilai ekonomis dijual untuk penambahan pendapatan, sedangkan sampah jenis residu yang tidak dapat diolah dibuang ke Pembuangan Akhir Sampah milik Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Bantul.

“Untuk sementara pengolahan sampah menjadi pupuk sementara macet,” sambung Gatot.Mahmud, salah satu peserta kunjungan sempat menanyakan tata penanganan sampah oleh para karyawan di RPS yang belum memperhatikan resiko atas sampah yang tiap hari dipilah berpotensi dalam keselamatan kerja dan kesehatan, meskipun dari sistem pengupahan sudah menembus Upah Minimal Kabupaten (UMK). 

Pihak direksi hendaknya memantau ketat karyawan agar terlindungi dari resiko kesehatan dan keselamatan dengan dukungan peralatan yang lebih memadai.Lukman, peserta lain mengaku tertarik belajar tata kelola sampah Panggungharjo. Hanya saja, untuk diterapkan di tanah kelahirannya jumlah kepadatan penduduk dalam satu desa mengundang pesimistis. Terlebih, kebutuhan pembiayaan operasional harian cukup besar. 

Peserta kunjungan dari NGO Idrap dan Penabulu juga menyempatkan bertemu dengan para petugas di RPS sela kesibukan memilah sampah.“Kalau dikelola dengan lebih baik. Sampah bisa mendatangkan berkah,” pungkas Kartolo aktivis pemberdayaan desa dari Yayasan Penabulu bertugas pendampingan di Desa Sumbermulyo, Bantul. Sebelumnya, rombongan juga belajar tata kelola Pemerintah Desa Panggungharjo dengan sejumlah perangkat desa dan staf desa. Desa ini pernah mencatat juara lomba desa tingkat nasional.

Kamis, 18 Februari 2016

Hati-hati !!! Pelaksanaan Dana Desa Rawan Bermasalah

http://www.majamojokerto.com/thumb/thumb.php?src=photo/headline/1702%20dana-desa.jpg&x=300&y=300&f=0
ilustrasi
MAJA mojokerto | Pelaksanaan Dana Desa (DD) di Kabupaten Mojokerto rawan bermasalah. Apalagi bertambahnya alokasi anggaran dana desa dari Pemerintah Pusat yang mencapai Rp 185 Milyar. Anggaran sebesar itu dikawatirkan rawan masalah, terutama soal administrasi pertanggungjawabanya. 

Ardi Sepdianto - Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas) Pemkab Mojokerto kepada Budi Prasetyo – Reporter Maja FM, Rabu (17/02/2016) mengatakan, sekarang ini pendamping desa yang direkrut pemerintah pusat melalui Bapemas Profinsi Jatim hanya 115 orang.

”Dari 115 pendamping, 6 orang diantaranya tenaga ahli di Kabupaten, 31 orang tenaga pendamping di Kecamatan. Sedangkan yang mendampingi langsung ke Desa hanya 78 orang. Utupun mereka baru direkrut dan hanya diberi pelatihan 5 hari saja”, kata Ardi. 

Menurutnya, jumlah Desa di Kabupaten ada sekitar 300 Desa. ”Sehingga 1 pendamping lokal desa menangani 3 sampai 5 Desa. Padahal administrasi SPJ harus mengacu banyak aturan dan sering berubah-ubah”, katanya. 

Seperti diketahui, Dana Desa dari Pemerintah Pusat tahun 2016 ini yang diploting untuk Kabupaten Mojokerto naik menjadi Rp 185 Milyar. (bud/and)

Sumber http://www.majamojokerto.com/

Rabu, 17 Februari 2016

Dana Desa Boleh Buat Tempat Pembuangan Sampah

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhuZU8bmYlhetOjCereeW3jXfM-qqWar6m8on_PlzNknOLNxB5EYm215sR9Lgq3aSge8zgoNkS48NS5LPCt_FMJS2ppJ-mWSxcfxE5gGzGOhOBzklRLmCTN19sI8HQzBtpTWmHpALCMjfw/s1600/Marwan+Jafar.jpg
Menteri Desa - Marwan Jafar

Dana desa yang sudah dicairkan dari Kabupaten ke desa-desa sejauh ini dana desa tersebut sudah dibelanjakan oleh desa-desa.

Menurut Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar, kebanyakan dana desa dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur pedesaan.

"Tiap hari akan dipantau dan setiap hari terus akan ada pergerakan mengenai dana desa ini," ujar Marwan dikutip dari laman Kementerian Desa, beberapa waktu yang lalu..

Kebutuhan infrastruktur pedesaan, menurut Marwan, masih penting untuk diperkuat mengingat kondisi infrastruktur di desa-desa masih sangat memprihatinkan.

Marwan mencontohkan ketersediaan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) yang masih minim di pedesaan.

Dari data Podes 2014, hanya ada 11,18 persen desa yang memiliki fasilitas TPS, sedangkan sisanya yakni sebesar 88,82 persen tidak memiliki TPS," imbuhnya.

Minimnya fasilitas ketersediaan TPS bagi masyarakat di desa berdampak pada cara masyarakat dalam membuang sampah.

"Mayoritas masyarakat di desa 65,08 persen membuang sampah dengan cara menggali lubang atau membakar sampah tersebut, sedangkan 9,77 persen masyarakat membuang sampah di sungai, saluran irigasi, danau atau laut yang berakibat pada pencemaran lingkungan," imbuhnya.

Dengan adanya dana desa, persoalan seperti minimnya ketersedian TPS bisa segera di atasi.

"Dengan dana desa bisa dibuat untuk membuat TPS, atau membuat bank sampah yang bisa dikelola oleh masyarakat setempat, sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga," tutupnya. [Sad]

Senin, 15 Februari 2016

Fungsi Dana Desa dalam Pelayanan Kesehatan Masyarakat Desa.

https://pbs.twimg.com/media/CbPtkfwUEAA53Yo.jpg
ilustrasi
Selamat sore sahabat, sdh tahu belum kalau Dana Desa bisa menopang daya jangkau layanan kesehatan bagi masyarakat?

Nah...sore ini saya mau sedikit kultweet tentang fungsi Dana Desa dalam Pelayanan Kesehatan Masyarakat Desa.
  1. Pergi ke dukun dan tabib tradisional masih menjadi kebiasaan bagi sebagian masyarakat di pelosok-pelosok desa hingga saat ini.
  2. Hal ini tentu saja terjadi lantaran akses terhadap layanan kesehatan masyarakat masih rendah.
  3. Kondisi ini tentu menjadi salah satu fokus dari pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Pak_JK untuk segera ditangani. 
  4. Saya pun terus mendorong percepatan akses layanan kesehatan bagi masyarakat, terutama masyarakat yg di desa-desa.
  5. Ada sebuah data yg menunjukkan bahwa angka kematian ibu di Indonesia bisa mencapai 359 jiwa per 100 ribu kelahiran hidup. 
  6. Sementara untuk angka kematian bayi mencapai 32 jiwa per 1000 kelahiran hidup. 
  7. Data lain juga menegaskan bahwa Indonesia menduduki peringkat kelima dunia untuk jumlah anak dgn kondisi kurang gizi (37,2%). 
  8. Lebih parah jika dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%). 
  9. Semua desa harus punya Posyandu dan harus dihidupkan, Polindes juga hrs dibangun dan digerakkan, termasuk PAUD. 
  10. Jumlah Posyandu di Indonesia sendiri memang masih sedikit, bahkan jumlahnya tak sampai 500.000 unit. 
  11. Jumlah ini masih jauh dibandingkan jumlah desa yang mencapai lebih dari 74 ribu desa di seluruh Indonesia 
  12. Oleh karenanya Posyandu, Polindes, dan PAUD harus dihidupkan. Ini menyangkut layanan sosial dasar bagi masyarakat. 
  13. Mengapa? Karena Pemerintahan Presiden jokowi dan Wapres Pak_JK telah menjadikan desa sebagai fokus utama pembangunan nasional 
  14. Bahkan jumlah Dana Desa pun sudah ditingkatkan menjadi Rp47 triliun pada tahun 2016 ini.
  15. Dana Desa ini memang harus diprioritaskan untuk infrastruktur, namun boleh saja sedikit dari dana tersebut disisihkan untuk membenahi Posyandu, Polindes, PAUD. 
  16. Misal desa dapat Dana Desa Rp700 juta, kasih lah buat Posyandu Rp.25 juta biar kesehatan masyarakat terlayani. Tapi fokus utama tetap infrastruktur. 
Sekian dulu ya kultweet dari saya sore ini tentang fungsi Dana Desa dalam Pelayanan Kesehatan Masyarakat, semoga bermanfaat.

Minggu, 14 Februari 2016

Progres Pembangunan Desa Semakin Meyakinkan

http://www.kemendesa.go.id/gambar/4/400/berita1812.jpg
Menteri Desa Tinjau Pembangnan di desa
Maros - Pemerintahan Jokowi-JK telah meneguhkan komitmennya menjadikan desa sebagai pondasi pembangunan nasional, dan wujudnya pun sudah terasa secara kongkrit. Misalnya Desa Tenrigangkae, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros, Sumatera Selatan. 

Desa yang tadinya sepi dan nyaris mati ini mulai melesat menjadi motor pembangunan. Jalan desa tengah dibangun memakai tenaga kerja masyarakat setempat. Adapun penduduk desa yang berprofesi sebagai petani mulai tersenyum karena sarana irigasi dan sanitasi pengairan juga tengah dibangun.
“Penggunaan dana desa di Maros ini saya suka. Ini sudah sesuai karena fokus untuk membangun,” ujar Menteri Desa Marwan Jafar saat meninjau proses pembangunan sarana irigasi di Desa Tenrigangkae, Sabtu (13/2).

Semangat kerja masyarakat desa memang senafas dengan komitmen pemerintah untuk terus meningkatkan dana desa. Pada tahun ini jumlah dana desa mencapai Rp47 triliun, atau meningkat dari sebelumnya Rp20,7 triliun. Bahkan tahun 2017 rencananya akan dinaikkan lagi hingga Rp90 triliun. Jumlah desa sendiri berubah dari 74.093 menjadi 74.754 desa dan digunakan sebagai basis penghitungan dana desa 2016.

Mekanisme pembagian dan tahapan penyaluran dana desa juga terus dibenahi. Pertama dengan mempersingkat tahapan pencairan dana desa dari tiga tahap menjadi dua tahap. Hal ini akan memotong mata proses penyaluran sehingga dana desa bisa dipakai secara lebih cepat dan efektif.

Selain itu, Kementerian Desa juga terus mendorong agar postur penghitungan pembagian dana desa diubah. Selama ini, dana desa dibagikan ke desa-desa dengan proporsi 90% dibagi rata dan 10 persen dihitung berdasarkan tiga kriteria, yakni kepadatan penduduk, luas wilayah, kondisi geografis, angka kemiskinan.

Kami tengah memperjuangkan agar skema ini diubah. Penghitungan dengan empat kriteria itu porsinya harus dinaikkan paling tidak 40 persen dan dana desa dengan porsi dibagi rata 60%. Dengan begitu pembangunan desa-desa semakin sempurna dan semakin berkeadilan,” jelas Menteri Marwan.

Pembenahan ini, jelas dia, akan diatur melalui revisi terhadap PP No.47/2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Desa dan juga PP No.22 /2015 Tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN. Ada tiga kementerian yang terlibat langsung dalam revisi ini, yakni Kementerian Desa, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Keuangan.

Menteri Marwan juga mengapresiasi progres pembangunan desa yang menunjukkan progres positif. Desa-desa di Maros misalnya, sudah terbangun secara merata. Selain menerima dana desa, juga ada alokasi dana desa (ADD) dari pemerintah kabupaten yang jumlahnya mencapai 600-900 juta per tahun.

“Kalau ditotal, dana yang masuk ke desa-desa di kabupaten maros mencapai  lebih dari Rp1,6 miliar setahun. Makanya tidak ada alasan lagi, masyarakat desa di sini sudah harus sejahtera,” imbuh Marwan.

Agar efektifitas pembangunan desa semakin terkawal, Menteri Marwan mengghidupkan sistem kerja bersama dalam mengawal desa membangun. Ada tiga komponen yang digalang untuk berpartisipasi aktif membangun desa. Yakni dengan membentuk Pokja Dana Desa, Forum Perguruan Tinggi, dan Pokja Masyarakat Sipil.

Pokja Dana Desa, lanjut Marwan dibentuk untuk mengawal efektifitas dana desa bagi masyarakat. “Pokja ini diketuai Pak Kacung Maridjan dengan anggota orang-orang hebat semua,” imbuh Marwan.

Adapun Forum Perguruan Tinggi juga menjadi kelompok intelektual. Sudah ada 50 perguruan tinggi se-Indonesia yang terhimpun, dengan harapan agar orang-orang hebat di Universitas tidak sekedar membuat penelitian yang hasilnya tak aplikatif dan tak berguna. “Mari kita gunakan buah pemikiran itu untuk masyarakat, untuk daerah tertinggal, dan pulau terluar,” tandas Marwan.

Satu upaya kerja “kroyokan” lagi yang dilakukan adalah membentuk Pokja Masyarakat Sipil untuk Desa Membangun Indonesia. Sedikitnya sudah 300 LSM yang siap mengawal pembangunan desa.

“Tiga komponen ini mendukung Kementerian Desa dalam mengawal implementasi UU No.6/2014 tentang desa dan mengawal pelaksanaan Naca Cita ketiga pemerintahan Jokowi, yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat desa dan daerah,” tandas Marwan.

Sumber http://www.kemendesa.go.id/