Jumat, 26 September 2014

RUU Pemda Disahkan, Kepala Daerah Tetap Boleh Rangkap Jabatan Parpol

Sidang Paripurna DPR
Jakarta - Meski hanya dihadiri segelintir anggota dewan, DPR akhirnya mengesahkan RUU Pemerintah Daerah menjadi Undang-undang dalam rapat paripurna hari ini. Pengesahan RUU Pemda ini berjalan tenang dengan waktu hanya sekitar 60 menit.

"Alhamdulillah, akhirnya disahkan. Saya sudah ketok, saya ketok palu sekali lagi," ujar pimpinan rapat, Priyo Budi Santoso di ruang rapat paripurna, Gedung Nusantara II, DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (26/9/2014).

Sebelum disahkan, perwakilan fraksi PDIP dan PKB sempat menyampaikan pendapatnya agar pengurus parpol tetap diperbolehkan menjadi kepala daerah. Hal ini terkait aturan dalam draf RUU Pemda Pasal 76 ayat (1) huruf I tertulis jika adanya larangan kepala daerah atau wakil kepala daerah merangkap jabatan sebagai ketua partai politik.

"Pengurus parpol tidak boleh menjadi bupati, gubenur, sangat tidak relevan. Justru kita harus bisa memberikan kesempatan kepada siapapun, asalkan tidak melakukan penyimpangan," kata politikus PDIP, Arief Wibowo.

Namun, setelah tahapan lobi antar fraksi dan pimpinan rapat akhirnya larangan pengurus parpol menjadi kepala daerah dihapus.

"Kali ini usulan beliau berdua diterima aklamasi. Kepala daerah dari parpol tidak masalah," sebut pimpinan sidang, Priyo.

Adapun Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyebut pengesahan UU Pemda menjadi peraturan penyelenggaraan daerah agar lebih baik dan menjawab permasalahan yang muncul ke depannya. Dia berharap UU Pemda ini bisa bertahan 25 tahun ke depan.

"Akhirnya RUU Pemda dapat kita sahkan, sudah sangat ditunggu kehadiran untuk memperkuat daerah dan membantu sinergi antara pemerintah daerah dan pusat dalam sistem otonomi daerah bisa lebih baik," ujarnya.

Setelah pengesahan RUU Pemda, DPR dalam paripurna sore ini juga sudah mengesahkan RUU Administrasi Pemerintahan.

Paripurna DPR Setujui RUU Administrasi Pemerintahan

Paripurna DPR
Paripurna DPR menyetujui RUU Administrasi Pemerintahan untuk menjadi Undang-Undang (UU).  Rapat Paripurna dipimpin langsung oleh Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, di Gedung Nusantara II, Jum'at, (26/9).
 
"RUU tentang Administrasi Pemerintahan ini merupakan sebuah tonggak bagi terwujudnya penyelengaraan pemerintahan yang baik dan berkuallitas, terutama dalam hal penggunaan wewenang Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik,"Wakil Ketua Komisi II DPR Khatibul Umam Wiranu saat menyampaikan laporan Komisi II DPR terkait RUU Administrasi Pemerintahan.
 
Pada kesempatan itu, Khatibul mengatakan, Komisi II DPR telah melakukan sinkronisasi kembali seluruh isi RUU dan juga telah menyesuaikan dengan ketentuan UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga seluruh rumusan RUU seperti yang disampaikan pada Paripurna.
 
"Saat Panja, Timus, dan Timsin juga mengikutsertakan ahli abhasa serta tim assistensi pemerintah, serta asistensi DPR RI dan untuk merumuskan serta merumuskan serta mensinkronkan baik substansi serta redaksional dari sisi bahasa,"ujarnya.

Khatibul mengatakan, RUU tentang Administrasi Pemerintahan semula terdiri atas 15 Bab dan 87 Pasal, yang dikategorikan menjadi 595 DIM. Terdapat beberapa rumusan atau materi yang dibahas dan disepakati dalam rapat Panja, diantaranya Judul RUU tetap yaitu RUU Tentang Administrasi Pemerintahan. " Menambah tiga angka dalam Bab I pasal 1 Ketentuan umum yaitu atribusi, delegasi dan mandat,"tandasnya.
 
Dia mengharapkan, dengan disahkannya RUU tentang Administrasi Pemerintahan dapat menciptakan tertib penyelenggagraan Administrasi Pemerintahan, kepastian hukum, mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, menjamin akuntabilitas Badan dan atau pejabat pemerintahan. "Kita juga ingin memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat dan aparatur pemerintahan, serta memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat,"tambahnya.
 

Paripurna DPR Akhirnya Sahkan Pilkada Melalui DPRD

Suasana Sidang Paripurna DPR
Akhirnya setelah sempat diskors beberapa kali, Rapat Paripurna DPR, pada Jum’at, (26/9) dini hari mengesahkan RUU Pilkada menjadi UU, serta menyetujui opsi Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD.

Keputusan tersebut, dilakukan setelah Rapat Parpiurna DPR melakukan mekanisme pemungutan suara atau voting. Hasilnya sebanyak 226 anggota DPR menyatakan Pilkada sebaiknya dilakukan melalui DPRD, dan 135 anggota dewan memilih mendukung Pilkada langsung.

“Dengan demikian, Rapat Paripurna Pengambilan Keputusan Tingkat II Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) memutuskan, pelaksanaan Pilkada dilakukan melalui DPRD, Setuju...,” kata Pimpinan Rapat Paripurna Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, “Setuju….”teriak sejumlah anggota DPR, dan Priyo mengetuk palu.

Sebelum ketuk palu, sempat terjadi hujan interupsi dan diwarnai aksi walk out yang dilakukan Fraksi Partai Demokrat (FPD), dimana aksi tersebut dilakukan karena FPD memilih bersikap netral atas opsi yang akan dipilih yakni Pilkada langsung atau melalui DPRD, dan memilih meninggalkan ruang sidang Paripurna.

“Mohon maaf kami mengambil sikap untuk walk out,”kata Benny K Harman selaku Juru Bicara FPD sebelum meninggalkan Rapat Paripurna.

Pasca meninggalkan Paripurna, Benny menjelaskan, aksi walk out tersebut karena 10 syarat yang diajukan partainya ditolak dan hanya diakomodir 2 opsi, sehingga dengan kondisi seperti itu, FPD menegaskan akan menjadi penyeimbang.

Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara F-PDIP Yasonna Laoly mengaku kecewa dengan sikap Partai Demokrat, menurutnya, partai koalisinya kecewa dengan sikap Fraksi Partai Demokrat yang walk out setelah didukung soal pilkada langsung dengan 10 opsi sebagaimana usulan partai tersebut.

“Sikap Demokrat selama ini mengaku mendukung Pilkada Langsung ternyata hanya skenario belaka, dan hanya untuk mengambil hati rakyat, pencitraan,”tegasnya.

Selanjutnya, menurut anggota FPD Gede Pasek Suardika yang tetap berada dalam Rapat Paripurna mengatakan, agar FPDIP tidak terlalu mempermasalahkan aksi walk out yang dilakukan FPD, menurutnya apapun pilihan Demokrat itu pilihan demokrasi yang harus dihormati bersama.

Selasa, 23 September 2014

Selamatkan Dana Desa, Kawal Dengan SDM dan Kelembagaan PNPM.

ilustrasi
Uforia pengesahan UU Desa menggema di seantero negeri. Penetapan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa ini menandai era baru dan meneguhkan eksistensi desa dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengaturan desa dalam undang-undang ini merupakan upaya untuk melindungi dan memberdayakan desa agar semakin kuat, maju mandiri dan sejahtera. Untuk mencapai hal tersebut, beberapa hak dan wewenang diberikan kepada desa. Salah satunya adalah sumber pendanaan baru bagi desa dari APBN.

Sesuai ketentuan pasal 72 UU Desa, pendapatan desa yang bersumber dari alokasi APBN, atau Dana Desa, bersumber dari belanja pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan. Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke desa ditentukan 10 persen dari dan diluar dana transfer ke daerah (on top). Meskipun RAPBN 2015 yang disusun pemerintah SBY hanya mengalokasikan 9,1 Triliun (1,4% dari dana transfer ke daerah), namun pemerintah baru nanti kemungkinan besar akan menaikkan ADD APBN ini hingga mencapai 10% (46 Triliun). Komitmen itu adalah janji pertama yang akan banyak ditagih kepada presiden terpilih, Joko Widodo. http://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/09/09/nbmoaz-jokowi-janji-tingkatkan-dana-desa-hingga-rp-2-miliar 

Selain itu, UU Desa juga makin menguatkan alokasi dana Desa (ADD) yang berasal dari dana perimbangan Kabupaten/Kota. Jika sebelumnya hampir tidak ada Kabupaten/Kota yang memberikan ADD minimal 10 persen dari dana perimbangan tanpa adanya sanksi, maka pasal 72 UU Desa memberikan hak pada pemerintah untuk memberikan sanksi dengan melakukan penundaan dan bahkan pemotongan dana perimbangan sebesar alokasi dana yang tidak diberikan ke Desa. Dengan adanya sanksi ini, dipastikan seluruh daerah akan mengalokasikan ADD minimal 10 persen pada 2015 dari APBD.

Dari dua sumber pendapatan desa di atas (ADD APBN & ADD ABPD), pada 2015, 72 ribu desa di negeri ini akan menerima dana minimal 1 Miliyar di wilayah Jawa. Sedangkan desa di luar jawa yang notabene menerima dana perimbangan lebih besar dari pusat, tentu akan menerima alokasi lebih besar lagi. Sumber pendanaan desa di atas belum termasuk 3 sumber pendapatan desa lainnya, meliputi 10% dana bagi hasil retribusi daerah, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan kabupaten serta pendapatan asli desa.

Fantastisnya sumber pendanaan desa sebagai konsekuansi atas implementasi UU Desa ini tentu sangat penting artinya sebagai salah satu upaya untuk mengoreksi sistem pengelolaan ekonomi yang selama ini terlalu bertumpu pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi kurang memperhatikan kualitas dari pertumbuhan itu sendiri.Melalui dana Desa itu, diharapkan dapat menjadi salah satu solusi pemberantasan kemiskinan yang memang secara proporsi lebih besar berada di pedesaan, dan menekan kesenjangan pendapatan antara kota dan desa serta mengoreksi arah pembangunan selama ini yang bias urban .

Desa Pusat Kesenjangan dan Kemiskinan.
Data dari BPS yang dikutip oleh COR Indonesia menunjukkan bahwa persentase penduduk pedesaan yang berada di bawah garis kemiskinan sebesar 15%, lebih tinggi dibanding rata rata nasional (kota dan desa) yang sebesar 11,2% tahun 2013. Belum lagi mempertimbangkan jumlah penduduk yang hampir miskin (sedikit berada di atas garis kemiskinan).Rata-rata prosentase pendudukperdesaan yang hampir miskin (2 kali di atas gariskemiskinan) di kawasan perdesaan pada tahun 2013 dapatmencapai 61%.Kelompok masyarakat inilah yang rentan untuk jatuh ke bawah garis kemiskinan jika ada sedikit saja guncangan ekonomi seperti kenaikan harga bahan makanan pokok, dll.

Di samping itu, tingkat kesenjangan pendapatan di pedesaan, juga cenderung melebar dalam satu dekade terakhir, tercermin dari koefisien giniratio yang meningkat dari 0,29 (2002) menjadi 0,32 (2013) meskipun angka ini berada di bawah koefisien gini ratio perkotaan. Tingkat pendidikan penduduk desa juga lebih memprihatinkan dibanding perkotaan, tercermin dari persentase penduduk berpendidikan tertinggi SD atau lebih rendah hingga 70% (2013). http://www.coreindonesia.org/view/85/tantangan-peluang-pembangunan-pedesaan-dengan-implementasi-uu-desa.html

Pengawalan Dana Desa Tidak Jelas.
Sayangnya, besarnya kucuran dana yang akan diterima desa pada tahun 2015 nanti mengundang kekhawatiran banyak pihak. Alih-alih menyelesaikan problem kemiskinan diperdesaan, dana desa dikhawatirkan justru hanya akan menyeret para elit desa pada tindak pidana korupsi. Kita semua tahu bagaimana mentalitas korupsi telah merasuk diseluruh level aparatur pemerintah tanpa terkecuali aparat-aparat yang ada di desa. Persoalannya buka semata lemahnya SDM, melainkan juga ketidaksiapan mental aparat desa.

Tanpa siatem yang baik, kucuran dana yang begitu besar akan menambah kekagetan sekaligus mengundang godaan tersendiri untuk menyalahgunakannya. Mengahadapi mentalitas koruptif aparat desa itu, selain memberikan pelatihan-pelatihan, tidak kalah penting juga pengawasan yang akan mempersempit ruang bagi tindak penyalahgunaan dan mrlakukan hal itu tiada lain kecuali dengan memperkuat pendampingan dan pengawalan pengelolaan dana desa secara sistemik.

Ironisnya kekhawatiran terhadap kualitas pengelolaan dana desa itu, oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait belum dijawab secara sistemik melalui program kerja kementerian terkait. Menghadapi kegamangan pengelolaan dana desa itu, Kementerian Dalam Negeri yang membidangi ranah pemberdayaan masyarakat dan desa, sebagaimana tertuang dalam Nota Kuangan dan RAPBN 2015 ternyata hanya menjawab dengan program pelatihan bagi aparatur desa/ kelurahan. Jokowi sendiri bersama tim transisinya juga tidak pernah menyampaikan bagaimana sistem yang akan dibangun dalam mengawal pengelolaan dana desa agar tetap sasaran, transparan dan akuntabel.

PNPM Sukses Tekan Kebocoran Hingga 0,1%.
Dalam kondisi seperti ini, sukses PNPM sebagai program dengan dana terbesar dan cakupa terluas yang mampu menekan kebocoran dana hingga 0,1 persen tentu patut menjadi pertimbangan. Berdasarkan catatan IPPMI (Ikatan Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Indonesia), PNPM hingga saat ini telah memberi manfaat bagi 13,3 juta Rumah Tangga Miskin (RTM), menyerap 11 juta tenaga kerja, dengan tingkat partisipasi mencapai 60% dan 48% diantaranya perempuan.

PNPM juga telah meningkatkan modal sosial berupa gotong-royong dan swadaya baik di desa maupun kecamatan, mendorong efisiensi pelaksanaan kegiatan swakelola oleh kelompok masyarakat hingga mencapai 15-50%, membentuk aset-aset dana bergulir hingga 9 Triliun, dan aset fisik lainnya berupa 104,966 km panjang jalan, 8,532 jembatan, 6,756 irigasi, 103,026 sistem air bersih, dan 27,503 sekolah.

Selain itu, yang tidak kalah penting, selama 15 tahun terakhir, melalui PNPM, pemerintah telah melakukan investasi sumber daya manusia dengan nilai lebih dari 10 Triliun untuk 25,378 orang dengan kualifikasi sarjana strata satu (S-1) disertai kompetensi sebagai Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat (FPM). Pendamping/Fasilitator tersebut juga sudah melatih dan memfasilitasi penguatan kapasitas sekitar 642,115 kader yang bekerja langsung bersama masyarakat. Bahkan pelatihan-pelatihan terbatas juga telah diberikan kepada hampir seluruh kepala desa di 72.944 desa.

Guna memastikan implementasi UU Desa berjalan dengan baik, PP 43/2014 tentang pelaksana UU Desa pasal 130 mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengadakan SDM pendamping untuk desa. Karena itu, Pemerintahan Jokowi yang akan datang, mau tidak mau harus mengambil tanggung jawab dalam mengawal implementasi UU Desa dengan memakai SDM dan kelembagaan PNPM sebagai satu-satunya cara dalam mengawal pengelolaan dana desa demi tercapainya kemandirian desa dan kesejahteraan masyarakat perdesaan.

Kementerian Dalam Negeri sebagai kementerian teknis saat ini yang membidangi urusan desa, bersama Menkokersa dan Menteri Pekerjaan Umum harus segera menerbitkan kebijakan untuk mentransformasikan SDM dan kelembagaan PNPM sebagai isntrumen pendampingan desa menuju kemandirian dan kesejahteraan.

Kedaulatan Pangan Harus Dimulai dari Pembangunan Desa

Pekerja mengangkat beras di gudang Bulog, Jakarta.
Pekerja mengangkat beras di gudang Bulog
Jakarta - Ketua Dewan Pakar Pusaka Trisakti Adrinof Chaniago menyatakan ide kedaulatan pangan berbasis prinsip Trisakti yang diusung Jokowi-JK merupakan suatu keharusan dan harus dimulai dari pembangunan desa. Semakin mendesak karena di 10 tahun terakhir, sama sekali tak ada gerakan Pemerintah untuk membangunnya.

"10 tahun terakhir tidak ada kebijakan pangan yang bisa membuat bangsa berdaulat. Buktinya, bangsa ini terus menerus melakukan impor pangan," kata Andrinof dalam Sarasehan Kebangsaan II membahas isu kedaualatan pangan, Kamis (4/9), di Jakarta.

Pemerintahan mendatang akan lebih memerhatikan pembangunan di wilayah pedesaan maupun pinggiran, sebagai wujud membangun keseimbangan pembangunan. Sebab selama ini, selalu terkesan situasi tidak berimbang dengan pembangunan di wilayah perkotaan.

Adrinof, yang juga Tim Ahli Jokowi-JK itu, menjelaskan bahwa dunia pangan Indonesia menghadapi berbagai kondisi yang ujung-ujungnya membuat bangsa Indonesia semakin lemah.

Salah satu contohnya, saat ini lebih banyak produk impor. Sementara produksi dalam negeri, lebih banyak dijual ke luar sementara kebutuhan di dalam negeri belum tercukupi.

"Kita harus berdaulat, artinya kita berkuasa pada cara produksi, arah produksi, dan distribusi barang pangan itu, termasuk jasanya," kata Adrinof.

Dia mengatakan, empat atau lima tahun ke belakang, Indonesia kerap dibikin risau oleh kelangkaan bahan pangan. Seperti cabe keriting, bawang merah, gandum, kedelai, daging sapi. Padahal, negeri ini kaya akan sumber daya alam.

"Jangan sampai negeri yang 70 persen terdiri dari lautan ini malah mengimpor ikan. Kalau juga terjadi krisis ikan ini, sudah aneh betul," katanya.


Anggaran Negara Harus Optimalkan Pembangunan Desa

Anggaran Negara Harus Optimalkan Pembangunan Desa
ilustrasi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seperti diketahui pada 16 Agustus 2014 lalu, pemerintah telah menyampaikan dukungannya dalam pembangunan daerah. Dukungan itu telah disampaikan dalam RAPBN Tahun 2015 dan nota keuangannya.

Tidak hanya dana desa yang diusulkan, Pemerintah Pusat dalam RAPBN tahun 2015 juga menganggarkan alokasi transfer ke daerah sebagai instrumen pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam rangka mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional. Bahkan, tahun 2015 merupakan tahun pertama pelaksanaan RPJMN 2015-2019 dan pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa.

"Tentunya, pelaksanaan RPJMN ini harus dikawal oleh seluruh komponen bangsa. Peran DPD sangat penting dalam hal ini," ujar Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik Sofyano Zakaria dalam keterangannya, Senin (8/9/2014).

Sofyano memaparkan alokasi transfer ke daerah direncanakan mencapai Rp 640 triliun. Sedangkan untuk penyaluran Dana Desa sebesar 10 persen dari dan di luar anggaran transfer ke daerah akan dilakukan bertahap dan sesuai kemampuan negara.

Sebelumnya, pemerintah mengusulkan Dana Desa sebesar Rp 9,1 triliun yang berasal dari PNPM yang sebelumnya dikelola oleh pemerintah pusat.

Dana Desa ini adalah dana yang bersumber dari pendapatan asli daerah, bagi hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota, Alokasi Dana Desa (ADD) dari bagian Dana Perimbangan yang diperoleh dari Kabupaten/Kota serta bantuan keuangan dari provinsi/kabupaten/kota.

“DPD perlu mendorong agar dana desa ini benar-benar bisa terealisasi dan bermanfaat untuk dapat memperbaiki desa"  ungkap Sofyano


Menpora Tantang Para Pemuda Membangun Desa

Menpora Tantang Para Pemuda Membangun Desa
Peserta PSP3 akan dibekali materi karakter dan budaya wirausaha, karakter pencipta lapangan kerja dan bukan sebagai pencari kerja.
Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) melalui Deputi Bidang Pengembangan Pemuda kembali menyelenggarakan Program Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan di Perdesaan (PSP3).

Program yang telah memasuki tahun ke-24 ini melibatkan 837 pemuda terpilih berasal dari 33 provinsi yang terdiri dari 485 peserta pria dan 352 peserta perempuan.

Nantinya para pemuda sarjana akan mengabdi selama 2 tahun dan tersebar di 408 desa. Mereka diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan perekonomian di desa-desa yang berkonsentrasi pada bidang pertanian, perkebunan, dan peternakan.

Sebelum terjun langsung ke lapangan, para pemuda dengan multidisiplin dengan nilai Indeks Prestasi (IP) akademik rata-rata di atas 3,24 ini akan mendapat pembekalan selama 14 hari sejak 10 September hingga 23 September 2014.

Pembekalan yang mengangkat tema "Dengan PSP3, Kita Tingkatkan Kemandirian Pemuda Dalam Rangka Mendukung Ekonomi Pedesaan" dibuka langsung oleh Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Roy Suryo, Jumat 12 September 2014 di Brigif 2 Marinir TNI Angkatan Laut, Cilandak KKO, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Pada program PSP3 tahun ini, Kemenpora akan fokus pada peningkatan produktivitas masyarakat pedesaan melalui menumbuhkembangkan kegiatan ekonomi masyarakat yang dilandasi pada semangat kebangsaan. Para pemuda dituntut harus mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru di desa.

“Sebagai agen perubahan (agent of change), peserta PSP3 akan dibekali materi karakter dan budaya wirausaha, karakter pencipta lapangan kerja dan bukan sebagai pencari kerja”, jelas Menpora Roy Suryo.

Menurut Roy, peserta PSP3 sejatinya mampu menciptakan aktivitas usaha bersama masyarakat desa dengan berbasis kekayaan sumber daya alam dan local wisdom (kearifan lokal) yang dimiliki setiap desa di mana mereka berada.

Selama pembekalan para peserta mendapatkan informasi mengenai Masalah Sarjana dan Pembangunan Perdesaan, Peluang dan Tantangan Pengembangan Kepemudaan di era global.

Ada juga materi yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas seperti Metode Penyadaran Masyarakat dan Penyusunan Rencana Kerja Peserta PSP3. Sedangkan materi yang ditujukan pada pengembangan karakter misalnya Membangun Kepeloporan Pemuda dan Kemandirian, khususnya di Perdesaan dan Bagaimana Menumbuhkan Daya Saing bagi Pemuda.

Dengan berbagai materi pembekalan tersebut, diharapkan peserta PSP3 angkatan XXIV tahun 2014 memiliki bekal wawasan, ketrampilan, kompetensi dan motivasi yang memadai untuk diterjunkan sebagai penggerak, pendamping, dan pemandiri masyarakat di 408 desa yang berada di 66 kabupaten/kota di 33 provinsi.

Baca  juga : Dorong pemerataan, Kemenpora kirim sarjana ke desa


Senin, 22 September 2014

Kepala Desa Harus Kreatif Libatkan Swasta dalam Pembangunan

Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla memberikan keterangan pada wartawan terkait porsi kabinetnya, di Rumah Transisi Jokowi-JK, Jakarta, Senin (15/9/2014). Rencananya Kabinet Jokowi-JK akan diperkuat 34 kementerian yang terdiri dari 18 orang profesional dan 16 orang dari partai politik.
JAKARTA, KOMPAS.com - Pembangunan infrastruktur desa dinilai tidak akan mampu dilakukan hanya oleh pemerintah. Atas dasar itu keterlibatan pihak swasta juga sangat dibutuhkan.

Menurut Direktur International Center for Applied-Finance an Economics Institut Pertanian Bogor, Nunung Nuryartono, investasi pihak swasta sangat mungkin masuk ke desa-desa apabila para kepala desa mampu kreatif mencari pihak-pihak swasta tersebut.

"Begini, kreativitas dari kepala desa harus tinggi, jadi pihak-pihak swasta masuk desa," ujar Nunung di Jakarta, Kamis (18/9/2014).

Meskipun demikian, kepala daerah juga harus sangat selektif memilih pihak swasta. Pasalnya, jangan sampai keterlibatan pihak swasta justu menyengsarakan masyarakat desa.

Oleh karena itu, dia mengusulkan agar salah satu syarat masuknya pihak swasta untuk pembangunan desa benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. "Tapi sektornya produktif, swasta harus menyerap tenaga kerja," kata dia.

Kementerian Infrastruktur Dinilai Jawaban Tepat Selesaikan Masalah Pembangunan Desa

JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana presiden terpilih Joko "Jokowi" Widodo membentuk Kementerian Infrastruktur dinilai sebagai bentuk pemecahan masalah pembangunan infrastruktur desa. Selama ini infrastruktur desa terhambat justru karena koordinasi antar Kementerian yang buruk.

"Saya setuju, sangat setuju adanya Kementerian infrastruktur," ujar Direktur Internatiönal Center for Applied-Finance an Economics Institut Pertanian Bogor, Nunung Nuryartono di Jakarta, Kamis (18/9/2014).

Menurut dia, masalah pembangunan di desa saat ini memang terkendala koordinasi lintas sektoral. Dalam sektor pertanian misalnya, selama ini sektor pertanian sangat membutuhkan waduk sebagai penyuplai air, namun terkendala karena pembangunan waduk ada di Kementerian Pekerjaan Umum.

Namun, kata dia, yang harus digarisbawahi dari Kementerian Infrastruktur adalah kerjasama dengan pemerintahan daerah. Pasalnya, pembangunan di desa juga sangat bergantung dari pemerintahan daerah. Bahkan, dalam beberapa kasus, pemerintah daerah sering mengacuhkan kerusakan infrastruktur karena dinilai menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

"Koordinasi dengan pemerintah kabupaten harus jadi perhatian, ada jalan nasional rusak, selalu diserahkan ke pusat padahal pemerintah kabupaten punya dana buat perbaikan jalan," katanya.

Dia berharap, apabila benar Kementerian infrastruktur dibentuk, maka yang harus menjadi fokus pembangunan adalah pembangunan desa yang sudah jauh tertinggal.