Selasa, 23 September 2014

Selamatkan Dana Desa, Kawal Dengan SDM dan Kelembagaan PNPM.

ilustrasi
Uforia pengesahan UU Desa menggema di seantero negeri. Penetapan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa ini menandai era baru dan meneguhkan eksistensi desa dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengaturan desa dalam undang-undang ini merupakan upaya untuk melindungi dan memberdayakan desa agar semakin kuat, maju mandiri dan sejahtera. Untuk mencapai hal tersebut, beberapa hak dan wewenang diberikan kepada desa. Salah satunya adalah sumber pendanaan baru bagi desa dari APBN.

Sesuai ketentuan pasal 72 UU Desa, pendapatan desa yang bersumber dari alokasi APBN, atau Dana Desa, bersumber dari belanja pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan. Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke desa ditentukan 10 persen dari dan diluar dana transfer ke daerah (on top). Meskipun RAPBN 2015 yang disusun pemerintah SBY hanya mengalokasikan 9,1 Triliun (1,4% dari dana transfer ke daerah), namun pemerintah baru nanti kemungkinan besar akan menaikkan ADD APBN ini hingga mencapai 10% (46 Triliun). Komitmen itu adalah janji pertama yang akan banyak ditagih kepada presiden terpilih, Joko Widodo. http://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/09/09/nbmoaz-jokowi-janji-tingkatkan-dana-desa-hingga-rp-2-miliar 

Selain itu, UU Desa juga makin menguatkan alokasi dana Desa (ADD) yang berasal dari dana perimbangan Kabupaten/Kota. Jika sebelumnya hampir tidak ada Kabupaten/Kota yang memberikan ADD minimal 10 persen dari dana perimbangan tanpa adanya sanksi, maka pasal 72 UU Desa memberikan hak pada pemerintah untuk memberikan sanksi dengan melakukan penundaan dan bahkan pemotongan dana perimbangan sebesar alokasi dana yang tidak diberikan ke Desa. Dengan adanya sanksi ini, dipastikan seluruh daerah akan mengalokasikan ADD minimal 10 persen pada 2015 dari APBD.

Dari dua sumber pendapatan desa di atas (ADD APBN & ADD ABPD), pada 2015, 72 ribu desa di negeri ini akan menerima dana minimal 1 Miliyar di wilayah Jawa. Sedangkan desa di luar jawa yang notabene menerima dana perimbangan lebih besar dari pusat, tentu akan menerima alokasi lebih besar lagi. Sumber pendanaan desa di atas belum termasuk 3 sumber pendapatan desa lainnya, meliputi 10% dana bagi hasil retribusi daerah, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan kabupaten serta pendapatan asli desa.

Fantastisnya sumber pendanaan desa sebagai konsekuansi atas implementasi UU Desa ini tentu sangat penting artinya sebagai salah satu upaya untuk mengoreksi sistem pengelolaan ekonomi yang selama ini terlalu bertumpu pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi kurang memperhatikan kualitas dari pertumbuhan itu sendiri.Melalui dana Desa itu, diharapkan dapat menjadi salah satu solusi pemberantasan kemiskinan yang memang secara proporsi lebih besar berada di pedesaan, dan menekan kesenjangan pendapatan antara kota dan desa serta mengoreksi arah pembangunan selama ini yang bias urban .

Desa Pusat Kesenjangan dan Kemiskinan.
Data dari BPS yang dikutip oleh COR Indonesia menunjukkan bahwa persentase penduduk pedesaan yang berada di bawah garis kemiskinan sebesar 15%, lebih tinggi dibanding rata rata nasional (kota dan desa) yang sebesar 11,2% tahun 2013. Belum lagi mempertimbangkan jumlah penduduk yang hampir miskin (sedikit berada di atas garis kemiskinan).Rata-rata prosentase pendudukperdesaan yang hampir miskin (2 kali di atas gariskemiskinan) di kawasan perdesaan pada tahun 2013 dapatmencapai 61%.Kelompok masyarakat inilah yang rentan untuk jatuh ke bawah garis kemiskinan jika ada sedikit saja guncangan ekonomi seperti kenaikan harga bahan makanan pokok, dll.

Di samping itu, tingkat kesenjangan pendapatan di pedesaan, juga cenderung melebar dalam satu dekade terakhir, tercermin dari koefisien giniratio yang meningkat dari 0,29 (2002) menjadi 0,32 (2013) meskipun angka ini berada di bawah koefisien gini ratio perkotaan. Tingkat pendidikan penduduk desa juga lebih memprihatinkan dibanding perkotaan, tercermin dari persentase penduduk berpendidikan tertinggi SD atau lebih rendah hingga 70% (2013). http://www.coreindonesia.org/view/85/tantangan-peluang-pembangunan-pedesaan-dengan-implementasi-uu-desa.html

Pengawalan Dana Desa Tidak Jelas.
Sayangnya, besarnya kucuran dana yang akan diterima desa pada tahun 2015 nanti mengundang kekhawatiran banyak pihak. Alih-alih menyelesaikan problem kemiskinan diperdesaan, dana desa dikhawatirkan justru hanya akan menyeret para elit desa pada tindak pidana korupsi. Kita semua tahu bagaimana mentalitas korupsi telah merasuk diseluruh level aparatur pemerintah tanpa terkecuali aparat-aparat yang ada di desa. Persoalannya buka semata lemahnya SDM, melainkan juga ketidaksiapan mental aparat desa.

Tanpa siatem yang baik, kucuran dana yang begitu besar akan menambah kekagetan sekaligus mengundang godaan tersendiri untuk menyalahgunakannya. Mengahadapi mentalitas koruptif aparat desa itu, selain memberikan pelatihan-pelatihan, tidak kalah penting juga pengawasan yang akan mempersempit ruang bagi tindak penyalahgunaan dan mrlakukan hal itu tiada lain kecuali dengan memperkuat pendampingan dan pengawalan pengelolaan dana desa secara sistemik.

Ironisnya kekhawatiran terhadap kualitas pengelolaan dana desa itu, oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait belum dijawab secara sistemik melalui program kerja kementerian terkait. Menghadapi kegamangan pengelolaan dana desa itu, Kementerian Dalam Negeri yang membidangi ranah pemberdayaan masyarakat dan desa, sebagaimana tertuang dalam Nota Kuangan dan RAPBN 2015 ternyata hanya menjawab dengan program pelatihan bagi aparatur desa/ kelurahan. Jokowi sendiri bersama tim transisinya juga tidak pernah menyampaikan bagaimana sistem yang akan dibangun dalam mengawal pengelolaan dana desa agar tetap sasaran, transparan dan akuntabel.

PNPM Sukses Tekan Kebocoran Hingga 0,1%.
Dalam kondisi seperti ini, sukses PNPM sebagai program dengan dana terbesar dan cakupa terluas yang mampu menekan kebocoran dana hingga 0,1 persen tentu patut menjadi pertimbangan. Berdasarkan catatan IPPMI (Ikatan Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Indonesia), PNPM hingga saat ini telah memberi manfaat bagi 13,3 juta Rumah Tangga Miskin (RTM), menyerap 11 juta tenaga kerja, dengan tingkat partisipasi mencapai 60% dan 48% diantaranya perempuan.

PNPM juga telah meningkatkan modal sosial berupa gotong-royong dan swadaya baik di desa maupun kecamatan, mendorong efisiensi pelaksanaan kegiatan swakelola oleh kelompok masyarakat hingga mencapai 15-50%, membentuk aset-aset dana bergulir hingga 9 Triliun, dan aset fisik lainnya berupa 104,966 km panjang jalan, 8,532 jembatan, 6,756 irigasi, 103,026 sistem air bersih, dan 27,503 sekolah.

Selain itu, yang tidak kalah penting, selama 15 tahun terakhir, melalui PNPM, pemerintah telah melakukan investasi sumber daya manusia dengan nilai lebih dari 10 Triliun untuk 25,378 orang dengan kualifikasi sarjana strata satu (S-1) disertai kompetensi sebagai Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat (FPM). Pendamping/Fasilitator tersebut juga sudah melatih dan memfasilitasi penguatan kapasitas sekitar 642,115 kader yang bekerja langsung bersama masyarakat. Bahkan pelatihan-pelatihan terbatas juga telah diberikan kepada hampir seluruh kepala desa di 72.944 desa.

Guna memastikan implementasi UU Desa berjalan dengan baik, PP 43/2014 tentang pelaksana UU Desa pasal 130 mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengadakan SDM pendamping untuk desa. Karena itu, Pemerintahan Jokowi yang akan datang, mau tidak mau harus mengambil tanggung jawab dalam mengawal implementasi UU Desa dengan memakai SDM dan kelembagaan PNPM sebagai satu-satunya cara dalam mengawal pengelolaan dana desa demi tercapainya kemandirian desa dan kesejahteraan masyarakat perdesaan.

Kementerian Dalam Negeri sebagai kementerian teknis saat ini yang membidangi urusan desa, bersama Menkokersa dan Menteri Pekerjaan Umum harus segera menerbitkan kebijakan untuk mentransformasikan SDM dan kelembagaan PNPM sebagai isntrumen pendampingan desa menuju kemandirian dan kesejahteraan.

0 comments :