Jumat, 15 April 2016

SIMPONI Bantu Wujudkan Akuntanbilitas Pengelolaan Dana Desa

http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/slider/simponi.jpg?1460703408
iliustrasi

Jakarta, 15/04/2016 Kemenkeu  – Pemanfaatan aplikasi Sistem Informasi Penerimaan Negara Bukan Pajak Online (SIMPONI) kini sudah menjangkau berbagai penjuru negeri. Hingga saat ini, sudah ada 72 Bank Persepsi dan satu Pos Persepsi yang telah menjangkau sampai ke tingkat kecamatan, bahkan telah menjangkau sebagian desa di Indonesia.

SIMPONI bahkan membantu mewujudkan akuntanbilitas pengelolaan Dana Desa dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) demi terwujudnya good governance sesuai Nawacita. Dengan SIMPONI, pembayaran/penyetoran Iuran Jaminan Kesehatan Pegawai Pemerintah Non PNS-APBD (Iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial/BPJS) dapat dilakukan secara lebih cepat, mudah dan akuntabel.

Seperti diketahui, mulai tahun 2015, pemerintah telah mengalokasikan Dana Desa dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang merupakan salah satu sumber pendapatan dalam APBDesa. Dalam pelaksanaan APBDesa, khususnya pada belanja penyelenggaraan pemerintahan (belanja pegawai), Bendahara Desa sebagai wajib pungut Pajak Penghasilan (PPh) dan pajak lainnya wajib menyetorkan seluruh penerimaan potongan dan pajak yang dipungut ke Rekening Kas Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penyetoran potongan pajak sendiri dilakukan menggunakan Billing Pajak. Sementara, untuk setoran lainnya, seperti Iuran Jaminan Kesehatan Pegawai Pemerintah Non PNS-APBD, Bendahara Desa akan menggunakan SIMPONI sebagai sarana dalam pembayarannya. Dengan demikian, SIMPONI menjadi sistem billing yang bukan hanya mengakomodasi PNBP, tetapi juga penerimaan non-anggaran yang antara lain berasal dari Perhitungan Fihak Ketiga (PFK), seperti iuran BPJS ke Rekening Kas Negara.

Semua pembayaran Iuran BPJS akan terdokumentasikan dengan baik di history billing SIMPONI dan bisa dicetak sewaktu-waktu apabila dibutuhkan. Dokumen hasil cetakan dari history billing SIMPONI dapat digunakan sebagai dokumen sumber pencatatan pembayaran Iuran BPJS ke dalam sistem akuntansi dan pelaporan keuangan.

Kemendes: Dana Desa Tahap Pertama Mulai Disalurkan


http://www.kemendagri.go.id/media/article/images/2016/04/14/a/h/ahmad_erani_yustika_1.jpg
Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Ahmad Erani Yustika


JAKARTA - Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Ahmad Erani Yustika mengatakan dana desa tahap pertama mulai disalurkan.

"Sudah mulai disalurkan sejak akhir Maret lalu. Jumlah yang sudah disalurkan sebesar Rp7,1 triliun per 31 Maret," ujar Erani dalam diskusi di Jakarta, Kamis (14/4).

Sebelumnya, pencairan dana desa mengalami keterlambatan. Awalnya pihak Kemendes PDTT menargetkan bisa mencairkan dana pada pertengahan Maret, namun kemudian diundur hingga akhir Maret. Erani menjelaskan lambannya pencairan dana desa tersebut karena terkendala aturan yakni revisi Peraturan Pemerintah 22/2015.

Peraturan Pemerintah tersebut berfokus pada jumlah tahapan dana desa, yang sebelumnya tiga tahapan menjadi dua tahapan. Dengan demikian diharapkan penyerapan dana desa bisa maksimal.
"Berbeda dari tahun sebelumnya, pada tahun ini pencairan dana desa hanya dilakukan dua tahap yakni pada April dan Agustus," kata dia.

Jika pada 2015 penyaluran dana desa dilakukan tiga tahap yakni April (40 persen), Agustus (40 persen) dan Oktober (20 persen). Maka penyaluran dana desa pada tahun ini hanya dua kali yakni April (60 persen) dan Agustus (40 persen). Hal itu dilakukan agar penyerapan anggaran tersebut lebih optimal lagi.

Alokasi dana desa pada tahun ini mengalami peningkatan, dari sebelumnya Rp 20,7 triliun menjadi Rp 46,9 triliun.Setiap desa akan mendapatkan dana sebesar Rp 700 juta hingga Rp 800 juta. Sedangkan pada tahun sebelumnya hanya Rp 250 juta hingga Rp 300 juta.

Rabu, 13 April 2016

Pasang Surut Kewenangan Desa

http://www.berdesa.com/wp-content/uploads/2016/03/googleusercontent.com_-810x540.jpg
ilustrasi

BERDESA.COM – Tahun 2016 transfer dana pemerintah pusat ke desa sebesar Rp. 46,98 Trilyun, atau naik lebih dari 100 persen dibanding dana tahun 2015 sebesar Rp. 20,7 Triliun. Maka desa berpeluang memiliki pendapatan Rp. 1,5 M hingga Rp. 4 M tahun ini. Masalahnya, selama ini desa terbiasa menjalankan program ‘paketan’ yang semuanya diatur pusat atau struktur di atasnya. Jadi, bagaimana desa menjawab tantangan ini?

Peraturan Presiden Nomor 137 Tahun 2015 tentang Rincian APBN 2016 dalam Lampiran XX Rincian Dana Desa menunjukkan total transfer dari pusat ke desa pada tahun 2016 sebanyak Rp.46,98 Triliun. Tranfer pusat ke desa tahun 2016 naik di atas 100 persen, dibandingkan tahun 2015 sebanyak Rp. 20,7 Triliun. Dana desa adalah bagian dari pendapatan desa. Pendapat desa antara lain dari dana transfer (pusat dan daerah), Pendapatan Asli Desa, dan hibah dari pihak ketiga yang tidak mengikat. Desa berpeluang mempunyai pendapatan antara Rp. 1,5 hingga di atas Rp. 4 milyar. Pertanyaan besarnya adalah, apa saja belanja yang dilakukan desa?

Belanja desa adalah untuk melaksanakan kewenangan desa. Baik kewenangan asal-usul desa maupun kewenangan lokal berskala desa. Pasal 90 (1) PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa menyebutkan “Penyelenggaraan kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa didanai oleh APB Desa.” APB Desa harus sesuai Peraturan Desa tentang Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDesa) yang ditetapkan setelah proses musyawarah desa. Masalahnya, sejarah desa se-Indonesia selama ini terbiasa hanya menerima “barang jadi” pada proyek pembangunan desa-nya. Akibatnya, sepanjang masa pemerintah desa tidak memiliki kapasitas untuk mengelola rencana dan belanjanya sendiri secara mandiri.

Cara yang diatur dalam UU Desa dianggapnya sebagai cara baru yang belum pernah dialami. Padahal justru itu cara wajar yang sudah seharusnya mudah dikerjakan oleh pemerintah desa. Saat ini ketakutan, kekawatiran, dan ragu-ragu menyusun APB Desa dan melakukan belanja masih menghantui benak kepala desa dan perangkatnya. Apalagi proses konsultas APB Desa dengan Camat maupun SKPD seringkali berbelit-belit dan harus berulang-ulang kali karena dinilai tidak sesuai ketentuan. Pemerintahan desa tidak boleh lelah berproses di sini karena inilah titik yang akan memotong sejarah ketidakberdayaan desa di masa lalu.

Penetapan kewenangan dalam pelaksanaan UU Desa sangat penting. Kewenangan desa menjadi dasar menyusun strategi desa untuk meningkatkan kesejahteraan, kemandiriannya, dan mengelola aset desa. Misalnya untuk mengembangkan desa wisata, BUM Desa, dll. Jika desa sudah menetapkan kewenangannya maka dasar menyusun perencanaan dan penganggaran desa sangat kuat. Proses konsultasi APB Desa akan lebih mudah karena rencana belanja sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 20 PP No. 60 Tahun 2014 menyebutkan “Penggunaan Dana Desa mengacu pada RPJM Desa dan RKP Desa.”

Bab IV UU Desa menegaskan kewenangan desa lahir atas asas rekognisi dan subsidiaritas, yakni kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Kewenangan desa meliputi bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa. Disamping itu masih ada kewenangan tugas yang diatur oleh supra desa dan dilaksanakan oleh desa. Kejelasan kewenangan desa tersebut yang menjadi dasar adanya fiskal transfer yang bersumber dari APBN maupun dari APBD sebagaimana diatur dalam BAB VIII UU Desa.

Jika kita cermati dialog dalam dua tahun implementasi UU Desa, banyak debat yang sudah dilakukan di dalam ruangan, namun sangat miskin dalam ranah tulisan dan regulasi pelaksanaannya. Dalam dua tahun pelaksanaan UU Desa baru beberapa kabupaten yang menerbitkan Peraturan Bupati tentang Daftar Kewenangan Desa. Seperti disebutkan di atas, Pasal 79 (1) UU Desa menyebutkan “Pemerintah Desa menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota.” Pasal tersebut menegaskan betapa pentingnya kewenangan desa dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.

Pertanyaannya kemudian, jika belum ada penetapan Perdes tentang Kewenangan Desa, maka apa yang menjadi dasar desa menetapkan RPJM Desa, RKP Desa, dan APBDesa? Siapa pun akan mempertanyakan dimana komitmen kabupaten/kota dalam implementasi UU Desa.

Sumber http://www.berdesa.com/