Kamis, 28 Januari 2021

Warga Wuhan Sudah Hidup Normal


www.kemlagi.desa.id - Pandemi masih terus menyelimuti dunia. Tapi di Wuhan warganya sudah hidup normal, sementara di Indonesia masih ada 92 daerah yang jadi zona merah. 

Sebagian besar kehidupan di Wuhan telah kembali normal, bahkan ketika seluruh dunia masih bergulat dengan penyebaran varian virus corona baru penyebab Covid-19 yang lebih menular. Bencana ini juga telah menewaskan lebih dari 2 juta orang di seluruh dunia. 

Padahal, Wuhan menyumbang sebagian besar dari total 4.635 kematian di China akibat Covid-19, jumlah yang sebagian besar tetap statis selama berbulan-bulan. 

Meski kota ini sebagian besar telah bebas dari wabah lebih lanjut sejak penguncian dicabut pada 8 April 2020, tetapi pertanyaan tentang asal-usul virus corona dan apakah otoritas China bertindak dengan cepat dan transparan masih terus dipertanyakan. 

Sejak berakhirnya lockdown, Wuhan sebagian besar telah terhindar dari wabah lebih lanjut. 

Menurut penduduk, Wuhan berhasil karena kesadaran yang meningkat akibat pengalaman traumatis tahun lalu. 

Wuhan dipuji karena pengorbanannya dalam melayani bangsa, mengubahnya menjadi semacam Stalingrad dalam perang China melawan virus. 

Keberhasilan Wuhan juga tertuang dalam buku, dokumenter, acara TV, dan apresiasi dari para pejabat termasuk kepala negara dan pemimpin Komunis Partai Xi Jinping. 

Sementara itu, Satgas Penanganan COVID-19 Indonesia melakukan pemutakhiran peta risiko Corona. Per 24 Januari ini ada 92 daerah yang masuk zona merah Corona. 

Angka ini memang turun dibanding per 17 Januari dimana saat itu ada 108 kabupaten/kota berstatus zona merah Corona.

Beberapa provinsi yang kabupaten/kotanya paling banyak masuk zona merah antara lain, Sulawesi Tengah, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat. Di DKI Jakarta, hanya Kepulauan Seribu yang tidak masuk zona merah.

Dikabarkan oleh Tim Pengelola Informasi Desa Kemlagi

Senin, 25 Januari 2021

Ini 15 Daerah di Jatim yang Gelar PPKM Jilid 2


www.kemlagi.desa.id - Pemerintah pusat memutuskan untuk memperpanjang PPKM di Jawa-Bali hingga 8 Februari 2021. 
Lalu, mana saja daerah di Jatim yang kembali menerapkan PPKM? 

 Juru Bicara Satgas COVID-19 Jatim, dr Makhyan Jibril mengatakan, sesuai Keputusan Gubernur (KepGub) dan rekomendasi pusat, ada 15 kabupaten/kota yang kembali akan menerapkan PPKM. 

 "Saat ini perpanjangan masih sesuai dengan KepGub 13 Januari lalu. Dan sesuai dengan instruksi pusat di Surabaya Raya, Malang Raya," ujar Jibril kepada detikcom, Minggu (24/1/2021). 

 Jibril menjelaskan, jumlah kabupaten/kota yang menerapkan PPKM jilid 2 bisa saja bertambah. Hal itu mengacu pada kabupaten/kota yang menjadi zona merah COVID-19 di Jatim. 

 "Kita evaluasi Senin besok, mana saja zona merah baru di Jatim, kemungkinan bila ada zona merah baru maka akan menerapkan PPKM," jelasnya. 

 Berdasarkan Keputusan Gubernur Jatim nomor 188/11/KPTS/013/2021 tentang PPKM Untuk Pengendalian Penyebaran COVID-19, ada 15 daerah yang sudah menerapkan PPKM. 

Belasan daerah yang akan diperpanjang PPKM-nya yakni Kota Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Kota Malang, Kabupaten Malang, Kota Batu, Kota Madiun, Kabupaten Madiun, Lamongan, Ngawi, Kabupaten Blitar, Kabupaten Mojokerto, Kota Mojokerto, Nganjuk, dan Kabupaten Kediri.

Untuk zona merah COVID-19 di Jatim saat ini ada di 7 kabupaten/kota. Yakni Kota Madiun, Nganjuk, Ponorogo, Trenggalek, Magetan, Ngawi dan Kabupaten Madiun. Zona merah COVID-19 akan diperbarui secara berkala. Yakni setiap Selasa oleh Satgas COVID-19 Pusat. 

Dikabarkan oleh Tim Pengelola Informasi Desa Kemlagi

Minggu, 24 Januari 2021

Revisi UU Desa Sudah Teragendakan di Masa Sidang III Tahun 2021, Ini Penjelasan Waka Komite I DPD RI

Mendes PDTT, Abdul Halim Iskandar saat berikan Buku karyanya tentang SDGs Desa
kepada Waka Komite I DPD RI, Fernando Sinaga
www.kemlagi.desa.id - Wakil Ketua Komite I DPD RI, Fernando Sinaga yang tampil sebagai salah satu narasumber pada talkshow KADES IWAN atau Kajian Desa bareng Iwan yang disiarkan secara langsung oleh TV Desa pada Selasa (19/1) lalu, menjelaskan soal rencana Komite I DPD RI yang akan melakukan revisi atas UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. 

Dalam pernyataannya ditalkshow yang bertemakan “Perlukah UU Desa Direvisi?”, Fernando Sinaga mengapresiasi capaian 7 tahun implementasi UU Desa, namun demikian masih menyisakan sejumlah catatan yang perlu diperhatikan dengan seksama oleh Pemerintah, DPD RI dan tentunya semua pihak yang berkepentingan. 

“Implementasi UU Desa belum dilaksanakan secara utuh sebagaimana amanat UU Desa. Komite I DPD RI memandang bawah UU Desa tidak hanya sekedar urusan administratif dan geografis semata, akan tetapi sebagai entitas sosial budaya, ekonomi, politik dan hukum”, ujar politisi yang berasal dari daerah pemilihan Kalimantan Utara ini. 

Fernando menjelaskan di TV Desa, di tahun ketujuh pelaksanaan UU Desa ini, ada catatan Komite I DPD RI yang berencana akan mengevaluasi UU Desa yang selanjutnya bisa saja masuk pada tahapan merevisi mengingat Komite I DPD RI telah mengagendakannya di masa sidang III tahun 2021 ini. 

Catatan tersebut antara lain: 

Pertama, pada Bab II yaitu soal Kedudukan Desa. Menurutnya, Status dan kedudukan desa yang mana yang akan dipilih? Daerah tingkat III, pemerintahan adat atau pemerintahan komunitas? 

Kedua, di Bab III Penataan Desa, yaitu soal penataan desa yang belum mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah, hal ini terlihat dari tidak terkontrolnya jumlah desa yang cenderung terus meningkat hanya untuk mengejar satu tujuan yaitu mendapatkan Dana Desa. Belum semua Pemda menerbitkan Perda Penataan Desa sebagai dasar hukum Penataan desa sebagaimana amanat UU Desa. 

Ketiga, Bab IV Kewenangan Desa di UU Desa. Fernando menyoroti tentang amanat UU Desa memberikan 1 kewenangan atributif, yaitu delegasi dan 2 kewenangan atributif yaitu kewenangan berdasarkan hal asal usul dan kewenangan skala lokal. Kedua kewenangan atributif tersebut menurut Fernando tidak mempunyai batasan dan definisi yang jelas. “Apa yang dimaksud dengan hak asal usul dan apa pula yang dimaksud dengan skala lokal. Kondisi ini telah menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara desa dan kabupaten/kota sebagai badan hukum yang berbeda. Pembangunan desa sebagai wujud pelaksanaan kewenangan desa diatur sepenuhnya oleh Pemerintah pusat. Sehingga tidak lagi tercermin adanya otonomi asal usul dan otonomi skala lokal desa”, ujarnya. 

Keempat, soal Bab V yang mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan desa. Mengingat corak pemerintahan desa itu sangat beragam, intervensi dari pemerintah pusat dalam pengaturan pemerintahan desa harus dibatasi oleh UU Desa. Fernando mengatakan, seharusnya memberikan pilihan kepada rakyat desa untuk memilih sistem pemerintahan desa yang masih hidup/pernah hidup atau memilih sistem pemerintahan yang dirancang secara nasional. 

Kelima, terkait Bab VIII yang mengatur tentang keuangan desa. Fernando menilai pengelolaan keuangan desa masih rumit karena pengelolaan keuangan desa tidak dipaksa untuk menggunakan pola dan sistem pengelolaan keuangan negara dan malah jauh dari asas rekognisi dan subsidiaritas. “Formulasi Dana Desa juga masih menimbulkan ketimpangan antar desa. Namun kami mengapresiasi adanya Alokasi Kinerja dalam perhitungan Dana Desa. di bab ini kami juga menyoroti soal aset desa belum dikelola secara profesional”, ungkapnya. 

Keenam, Bab X yang mengatur BUMDes. Menurut Fernando, perlu penyesuaian UU Desa dengan UU Cipta Kerja dan PP turunannya yang mengatur tentang BUMDes. “Catatan penting kami adalah pembentukan BUMDes telah jauh dari semangat sosial dan kebersamaan”, tegasnya. 

Ketujuh, yaitu soal Bab XIV yang mengatur pembinaan dan pengawasan. Fernando menegaskan, pembinaan dan pengawasan oleh Inspektorat dan BPD telah diambil alih oleh Aparat Penegak Hukum (APH).


Dikabarkan oleh Tim Pengelola Informasi Desa Kemlagi