Sabtu, 27 Agustus 2016

Sri Mulyani bakal pangkas dana desa dan transfer ke daerah Rp 72,9 T

http://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/1299883/big/033304800_1469611902-20160727-Sri-Mulyani-Fanani-2.jpg
Menkeu Sri Mulyani Indrawati
Pemerintah bakal memangkas dana transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp72,95 triliun. Ini meningkat ketimbang rencana sebelumnya sebesar Rp68,8 triliun.

Perinciannya, pemangkasan dana desa sebesar Rp 2,81 triliun dan transfer ke daerah Rp 70,13 triliun.

"Pemangkasan Transfer ke Daerah sendiri terdiri dari dana transfer Umum sebesar Rp 40,35 triliun dan dana transfer khusus Rp 29,78 triliun," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati,Jakarta, Kamis (25/8)

Transfer umum terdiri dari dana bagi hasil (DBH) sebesar Rp 20,9 triliun. Kemudian, penundaan penyaluran sebagian DBH Pajak sebesar Rp 16,8 triliun, dan penghematan alamiah penyaluran DBH sebesar Rp4,1 triliun.

Sementara itu, transfer khusus terdiri dari penghematan secara alamiah Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Rp 6 triliun dan penghematan DAK nonfisik Rp23,79 triliun.

Penghematan DAK non fisik yaitu tunjangan profesi guru Rp23,4 triliun karena penurunan jumlah guru bersertifikat yang berhak memperoleh tunjangan tersebut karena pensiun.

"Untuk penghematan Dana Desa sebesar Rp2,8 triliun sendiri, karena adanya daerah yang diperkirakan tidak mampu memenuhi persyaratan penyaluran berupa Laporan Realisasi Penyaluran Dana Desa dari Kabupaten/Kota ke Desa tahap sebelumnya," jelasnya.

Sumber 
http://www.merdeka.com/

Pencantuman Nama Ayah dalam Akta Kelahiran Anak Luar Kawin

http://userfiles.hukumonline.com/image/Ilustrasi%20Klinik%20-%20Adopsi.jpg
ilustrasi
Pasca putusan MK tentang pengujian UU perkawinan Pasal 43 ayat 1 tahun 1974 bagaimana dengan akta kelahiran anak di luar perkawinan sah? Dapatkah memakai nama ayahnya?

Intisari:
Menerbitkan akta kelahiran bagi anak luar kawin, diperlukan adanya penetapan dari pengadilan soal penetapan asal-usul anak. Pemohon (orang tua dari anak luar kawin) mengajukan permohonan penetapan pengadilan soal pengesahan anak dengan membawa alat bukti misalnya surat pernyataan pengakuan anak atau tes DNA. Bagi yang beragama Islam, permohonan diajukan ke Pengadilan Agama, sementara yang non-Islam diajukan ke Pengadilan Negeri. Selanjutnya diterbitkan akta kelahiran yang di dalamnya bisa dicantumkan nama ayahnya. Dengan kata lain, penetapan pengadilan ini dijadikan dasar penerbitan akta kelahiran.

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

Masalah hubungan hukum antara anak yang dilahirkan di luar kawin dengan orang tuanya itu sendiri daiatur dalam Pasal Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan(“UU Perkawinan”).

Namun, Mahkamah Konstitusi (“MK”) melalui putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 memutus bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 bila tidak dibaca:

" Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya."

Jadi, jika ingin si anak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya juga, hal itu dapat dibuktikan secara hukum, yakni dengan melalui penetapan pengadilan. Untuk kepentingan penerbitan akta kelahiran, diperlukan penetapan pengadilan guna perlindungan hukum anak itu sendiri.

Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh Penduduk Indonesia. Pengakuan status hukum pada peristiwa penting di sini salah satunya adalah diterbitkannyaakta kelahiran.[1]

Kemudian, soal pengadilan yang berwenang mengeluarkan penetapan soal pengesahan anak luar kawin, bagi yang beragama Islam, permohonan penetapan pengadilan diajukan ke pengadilan agama. Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan.[2] 

Adapun yang termasuk perkara di bidang perkawinan salah satunya adalah penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.[3]

Sedangkan bagi yang beragama non Islam, permohonan penetapan pengadilan soal pengesahan anak luar kawin diajukan ke pengadilan negeri.[4]

Contoh Kasus

Sebagai contoh permohonan penetapan pengadilan untuk yang beragama non-muslim ke Pengadilan Negeri dapat kita lihat dalam Penetapan Pengadilan Negeri Cilacap Nomor Nomor : 29/PDT.P /2011 /PN .CLP. Dalam penetapan tersebut diketahui bahwa para pemohon telah menikah pada 25 Juli 2010 di Gereja Kawunganten. Sebelum menikah, para pemohon telah mempunyai seorang anak laki-laki yang lahir pada 28 Maret 2006. Kurang tahunya para pemohon saat melangsungkan perkawinan tersebut, para pemohon tidak mengesahkan secara langsung anak luar kawinnya sebagai anak sah para pemohon dan dibutuhkan untuk dicatat dan didaftar mengenai pengakuan dan pengesahan anak luar kawin ke dalam register akta kelahiran. Untuk itu, para pemohon meminta penetapan dari pengadilan. Akhirnya, Pengadilan Negeri Cilacap menyatakan bahwa para pemohon mengakui dan mengesahkan anak luar kawin tersebut sebagai anak sah dari pemohon dan memerintahkan panitera untuk mengirimkan salinan sah penetapan tersebut kepada Kantor Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil Kabupaten Cilacap guna kepentingan penerbitan Akta Kelahiran. Penetapan ini merupakan bentuk pengakuan ayah dan ibunya.

Jika telah disahkan dengan penetapan pengadilan yang menerangkan bahwa anak tersebut merupakan anak dari ayah yang dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yakni yang dikenal dengan tesDeoxyribonucleic Acid (tes DNA), maka langkah selanjutnya adalah penerbitan akta kelahiran.
Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 55 UU Perkawinan:

  1. Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.
  2. Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
  3. Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Dalam hal ini, tentu saja nama ayahnya bisa dicantumkan dalam akta kelahiran anak tersebut setelah ada penetapan pengadilan.

Sumber http://www.hukumonline.com/

Belajar Dari Putusan MK Tentang Status Anak Luar Kawin

http://www.jimlyschool.com/images/banner-half.jpg
http://www.jimlyschool.com/
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Soeharto, memicu perseteruan antara dirinya dengan keluarga almarhum Moerdiono.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Mahkamah Konstitusi memberikan putusan mengabulkan sebagian permohonan para pemohon.  Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan tidak dikabulkan sebab perkawinan yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib administrasi.

Pencatatan secara administratif yang dilakukan Negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara tertib dan efisien. 

Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik akta perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal 55 UU perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan adanya akta otentik sebagai bukti.

Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan dikabulkan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.

Komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan hampir 50 juta anak di Indonesia tidak memiliki akta kelahiran karena berbagai sebab antara lain karena pernikahan tidak sah atau tercatat di atau kawin siri, angka ini hampir separuh dari total jumlah anak dibawah 5 tahun yang ada di Indonesia. KPAI sangat mengapresiasi putusan MK beberapa waktu lalu yang mengabulkan permohonan uji materiil atas pasal anak diluar pernikahan sah dalam UU perkawinan.

Menurut ketua Komnas perlindungan Anak Aris Merdeka Sirait, perubahan pada Undang-undang Perkawinan oleh Mahkamah Konstitusi ini akan menjadi landasan hukum yang sah dalam memajukan upaya advokasi bagi anak-anak diluar pernikahan yang sah untuk memperoleh hak keperdataannya.

“Jadi putusan MK kemarin memberikan hak keperdataan yang selama ini tidak diakui negara. Makanya akta lahirnya itu tidak mencantumkan nama ayah. Dan tentu ini akan berimplikasi tidak mendapatkan “hak waris” dan tidak bisa mencantumkan siapa bapaknya, nah..itukan merugikan anaknya. Didalam konvensi PBB juga pengakuan keperdataan dalam bentuk identitas nama dan kewarganegaraan itu harus diberikan oleh negara, tidak harus bergantung pada sah tidaknya perkawinan. Tetapi juga sebagai hak konstitusi, hak keperdataan, itu adalah hak yang sangat mendasar dan konstitusional”.

Ketua Majelis Ulama Indonesia Umar Shihab juga menyambut baik putusan MK ini, menurut Umar, putusan ini bisa menjadi dasar hukum bagi hakim dalam memutuskan sengketa anak.
Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.

Berdasarkan uraian ini Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. “

Selengkapnya bisa dilihat dari sumber postingan ini http://www.jimlyschool.com/

Rabu, 24 Agustus 2016

Kemendagri Nonaktifkan Data Penduduk yang Belum Rekam e-KTP Akhir September

https://images.detik.com/community/media/visual/2014/11/04/5c3558ed-68b1-4b8f-8e1d-48101687bd40_169.jpg?w=780&q=90
ilustrasi
Jakarta - Kemendagri memastikan batas akhir perekaman e-KTP tetap pada akhir September 2016. Bagi warga yang belum melakukan perekaman sampai batas akhir, maka data penduduknya akan dinonaktifkan.

"Dengan penerapan kebijakan tentang batas waktu melakukan perekaman KTP elektronik ini, bagi penduduk wajib KTP elektronik yang tidak melakukan perekaman, maka yang bersangkutan akan mengalami banyak masalah," ujar Dirjen Dukcapil Zudan Arif Fakhrullah dalam konferensi pers di kantornya, Pasar Minggu, Jaksel, Senin (22/8/2016).

Masalah tersebut, kata Zudan, muncul karena data penduduk yang belum merekam sampai dengan 30 September 2016 akan dinonaktifkan. Data dapat diaktifkan kembali dengan cara melakukan perekaman e-KTP.

"Namun demikian, apabila penduduk yang bersangkutan ingin datanya diaktifkan maka harus datang ke Dinas Dukcapil untuk melakukan perekaman. Tanpa perekaman data, maka yang bersangkutan tidak bisa diaktifkan," kata Zudan.

Dengan kata lain, KTP lama si warga yang belum mengurus e-KTP tersebut akan dinonaktifkan. Warga tersebut tidak akan mendapatkan pelayanan publik yang menggunaka Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai basis data.

"Ini yang nanti sampai 30 september saya blok dulu. Kalau mau aktifkan datang ke Dukcapil," kata Zudan.

Zudan mengatakan, hingga pertengahan Agustus 2016 ini, baru 161 juta penduduk atau 88 persen yang sudah merekam data dirinya, sejak program menuju single identity diluncurkan pada bulan Februari 2011. Jumlah itu setara dengan 12 persen dari total 183 juta penduduk wajib e-KTP saat ini.

Bagi penduduk yang belum melakukan perekaman, Kemendagri dengan jajarannya di seluruh Indonesia, memberikan perhatian khusus dan memberikan kemudahan kemudahan terlebih lagi saat ini semua data dan titik-titik pelayanan di daerah sudah terkoneksi dengan Data Center (DC) yang ada di Pusat. 

"Jadi dengan teknologi, semua jauh lebih mudah, bahkan tidak harus membawa surat pengantar dari RT, RW, Kelurahan atau Desa dan Kecamatan lagi. Jajaran Dukcapil yang tersebar di 514 Kabupaten/Kota siap melayani hingga batas waktu 30 September 2016, cukup menunjukkan atau membawa foto copy Kartu Keluarga (KK). Hal ini menjadi begitu penting karena kelak semua pelayanan publik akan berbasis NIK dan KTP-el," kata Zudan.

Zudan menyampaikan, pemberian tenggat waktu sampai 30 September 2016, sebagai bentuk pembinaan kepada penduduk agar sadar akan pentingnya dokumen kependudukan. Perpres No 112 tahun 2013 telah mengatur bahwa KTP lama atau KTP Non Elektronik sudah tidak berlaku lagi sejak 31 Desember 2014.

"Di samping hal tersebut di atas, langkah tegas ini perlu diambil Pemerintah untuk pembaruan database, tentang identitas jati diri penduduk indonesia, yang berlaku nasional, sehingga tidak perlu lagi membuat "KTP Lokal" untuk untuk pengurusan izin. pembukaan rekening Bank, dan sebagainya. KTP-el juga mencegah kepemilikan KTP Ganda atau KTP Palsu. Dengan demikian akurasi data penduduk sangat presisi dan berkualitas untuk berbagai kepentingan, khususnya pelayanan publik dan perencanaan pembangunan," ujar Zudan.