Pemandangan |
Oleh Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*
Pembangunan desa dan
daerah jelas menjadi prioritas utama pemerintahan baru. Kue pembangunan
yang awalnya hanya berkutat di ibu kota, akan dicoba untuk lebih
diratakan ke seluruh Indonesia. Hal tersebut tak lepas dari fenomena
ketimpangan pendapatan antar daerah yang stagnan 0,41 dalam kurun waktu 4
tahun terakhir. Jika ditelusuri lebih lanjut, persoalan serius yang
muncul adalah tingkat kesenjangan yang terjadi di dalam satu wilayah itu
sendiri. Persoalan anggaran sering dianggap sebagai masalah utama,
meskipun banyak pihak justru tidak mempermasalahkan. Namun demikian,
pemerintah tetap concern dengan persoalan ini, dibuktikan
dengan mulai dialokasikannya anggaran Dana Desa untuk tahun 2015.
Pengalokasian Dana Desa tersebut merupakan amanat Undang-Undang (UU)
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66
Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber Dari APBN. (baca juga: Agar Dana Desa Terkawal)
Meskipun draft
alokasinya sempat ditolak oleh DPR periode 2014-2019 yang baru saja
dilantik, pemerintah telah menyiapkan mekanisme pengalokasian dana
tersebut ke provinsi, kabupaten dan kota. Berdasarkan hasil perhitungan
pemerintah, Pulau Jawa dan Sumatera memperoleh alokasi terbesar Rp3,6
triliun dan Rp1,86 triliun. Menyusul kemudian Provinsi Papua Rp1,37
triliun, Sulawesi Rp878,6 miliar, Kalimantan Rp852,7 miliar, kemudian
Bali, NTT, NTB sebesar Rp500,3 miliar. Di Pulau Jawa sendiri, Provinsi
Jawa Timur mendapatkan alokasi terbesar yaitu Rp1,16 triliun dengan
jumlah kabupaten/kota sebanyak 30. Dengan mempertimbangkan jumlah
daerah, maka Provinsi Papua memperoleh alokasi terbesar Rp1,17 triliun
untuk 29 kabupaten/kota
.
Penolakan DPR
sendiri didasarkan kepada pertimbangan penggunaan sumber pengalokasian
Dana Desa dari anggaran Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri yang notabene merupakan anggaran Kementerian/Lembaga (K/L). Jika
merujuk regulasi yang ada baik UU maupun PP, penolakan DPR sebetulnya
patut dipertanyakan. Di dalam pasal 4 PP Nomor 60 tahun 2014 menyebutkan
bahwa Dana Desa bersumber dari belanja pemerintah dengan mengefektifkan
program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan, meskipun di
dalam pasal 8 ayat 1 dijelaskan bahwa anggaran Dana Desa merupakan
bagian dari Anggaran Belanja Pusat non K/L sebagai pos Cadangan Dana
Desa (CDD). Pagu CDD ini nantinya akan diajukan oleh pemerintah kepada
DPR untuk mendapatkan persetujuan menjadi pagu Dana Desa. Dalam pasal 72
ayat (2) UU Nomor 6 Tahun 2014 juga disebutkan bahwa Dana Desa
bersumber dari belanja pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis
desa secara merata dan berkeadilan.
Dalam dokumen APBN
2015 yang telah disepakati, pagu Dana Desa sebesar Rp9,06 triliun, yang
tercantum di dalam postur alokasi Transfer ke Daerah; Rp630,9 triliun
bersama dengan komponen Dana Perimbangan (DBH, DAU, DAK) sebesar Rp509,5
triliun, Dana Otonomi Khusus (Papua, Papua Barat dan NAD) Rp16,5
triliun, Dana Keistimewaan DIY Rp547 miliar serta Dana Transfer Lainnya
Rp104,4 triliun. Dalam pasal 2 PP No. 60 Tahun 2014, disebutkan bahwa
Dana Desa dikelola secara tertib, taat kepada peraturan
perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan serta
mengutamakan kepentingan masyarakat setempat. Dalam regulasi juga
disebutkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Desa menganut asas
desentralisasi dan tugas pembantuan. Asas desentralisasi menimbulkan
pendanaan internal Desa (APBD Desa), sementara asas tugas pembantuan
memberikan peluang bagi Desa memperoleh sumber pendanaan dari
pemerintahan yang ada diatasnya (APBN, APBD Provinsi, APBD Kab/Kota).
Sesuai regulasi yang
dimaksud dengan keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang
dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang
yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Hak dan
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut menimbulkan
pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan desa. Sementara dalam
pasal 72 ayat (1) disebutkan bahwa pendapatan desa bersumber dari:
pendapatan asli Desa, alokasi APBN, bagian dari hasil pajak daerah dan
retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi Dana Desa yang merupakan bagian
dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan
dari APBD Provinsi dan APBD kabupaten/kota; hibah dan sumbangan yang
tidak mengikat dari pihak ketiga; dan lain-lain pendapatan Desa yang
sah.
Di dalam penjelasan
pasal 72 ayat (2), besaran alokasi anggaran yg peruntukannya langsung ke
desa, ditentukan 10% dari dan diluar dana transfer ke daerah (on top)
secara bertahap. Dalam penyusunannya, anggaran yg bersumber dari APBN
untuk desa dihitung berdasarkan jumlah desa dan dialokasikan dengan
memperhatikan jumlah penduduk (JP), angka kemiskinan, luas wilayah (LW),
dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
dan pemerataan pembangunan desa.
Evaluasi Manfaat
Sebelum akhirnya
disahkan, beberapa pihak sempat berpolemik mengenai UU Desa ini. Pihak
yang mendukung merasa bahwa selama ini desa menjadi bagian wilayah yang
selalu terpinggirkan. Desa kemudian identik dengan keterbelakangan,
penduduk usia renta, profesi tak mentereng serta kemiskinan. Yang
terjadi kemudian penduduk usia produktif di desa berbondong-bondong
pindah ke kota, dengan harapan memperbaiki tingkat kesejahteraannya.
Akibatnya desa semakin terpinggirkan sementara kota mengalami over population.
Karenanya mereka menilai guyuran dana diharapkan mampu mengubah wajah
desa, minimal menghambat meledaknya arus urbanisasi di kemudian hari.
Persoalannya, pihak
yang menentang merasa bahwa persoalan utama desa bukan sekedar tidak
adanya anggaran. Bagaimana mengubah sistem, mind-set dan
perilaku masyarakat justru menjadi agenda lebih krusial. Ketika
persoalan ini belum teratasi, ditambah dengan masalah kualitas manusia
yang masih terbatas, alokasi dana yang melimpah justru akan menimbulkan moral hazard
baru di kalangan aparat desa. Dengan menggunakan asumsi data jumlah
desa tahun 2014 sebanyak 72.944 desa, maka tiap-tiap desa diperkirakan
akan mengelola dana sebesar Rp1,4 miliar. Dibandingkan kondisi yang ada
saat ini, penambahan alokasi dana tersebut tentu sangat luar biasa.
Indonesia sebetulnya
memiliki contoh terbaik dalam kasus implementasi otonomi daerah di
level kabupaten/kota. Otonomi yang sudah hampir menginjak usia hampir 15
tahun, justru terasa semakin jauh dari harapan awalnya. Aspek
kemandirian, kematangan daerah serta daya saing justru tenggelam oleh
arus birokrasi yang semakin kompleks, budaya korupsi yang merajalela
serta pembentukan dinasti di daerah yang makin menggurita.
Hal ini sebetulnya
tak lepas dari adanya perbedaan cara pandang diantara pemerintah.
Awalnya otonomi diagendakan bersifat bersifat a-simetris dengan tetap
mengakui adanya kemajemukan daerah-daerah di Indonesia. Kemajemukan
tersebut justru dianggap sebagai warna tersendiri dalam potret
ke-Indonesia-an, dan pemerintah menghargai keberagaman tersebut dengan
tetap menghormati keistimewaan, tradisi dan asal usul terbentuknya
beberapa wilayah tertentu seperti Yogyakarta, Aceh dan Papua.
Sayangnya konsep
desentralisasi a-simetris ini justru justru diterjemahkan menjadi konsep
a-simetris desentralisasi dimana Pemerintah Pusat memandang otonomi
sebagai sistem yang mampu menciptakan kemandirian daerah, sementara
daerah memandang otonomi justru sebagai mekanisme potong kompas (short-cut)
demi mendapatkan alokasi anggaran mandiri. Pemekaran merupakan contoh
sederhana terjadinya kondisi ini. Pemerintah Pusat mendesain pemekaran
sebagai sebagai alat untuk memutus mata rantai birokrasi dalam pelayanan
publik demi meningkatkan efisiensi dan efektivitas kepada masyarakat.
Sebaliknya Pemda memandang pemekaran sebagai solusi singkat mendapatkan
alokasi anggaran mandiri lepas dari daerah induknya, serta menciptakan
eselonisasi pejabat baru di daerah.
Hal yang sama juga
bukan tidak mungkin terjadi di level desa nantinya. Terlebih regulasi
tidak mengatur adanya hukuman bagi desa yang tidak menggunakan alokasi
dana seperti yang diharapkan. Regulasi yang mengatur penggunaan Dana
Desa diprioritaskan untuk penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan,
pemberdayaan masyarakat dan kemasyarakatan. Ancaman hukuman hanya berupa
penundaan penyaluran Dana Desa. Itupun hanya dikaitkan dengan persoalan
pelaporan administrasi tanpa evaluasi kualitas penggunaan.
Dengan tanpa
mengurangi penghormatan atas kebijakan yang sudah dihasilkan, Dana Desa
sebetulnya memiliki potensi luar biasa dalam upaya mempercepat
pertumbuhan dan pembangunan Desa dalam rangka mengatasi berbagai
persoalan yang selama ini ada. Namun bagaimana menjaga supaya
pemanfaatan tersebut tetap di koridor yang diharapkan, menjadi PR
bersama seluruh elemen bangsa di Indonesia. Harapannya, dengan anggaran
yang meningkat maka desa dapat mengembangkan kualitas dan kesejahteraan
masyarakatnya. Masyarakat desa yang berkualitas tentu menjadi input yang
bermanfaat baik bagi desa itu sendiri maupun bagi daerah lainnya. Desa
yang maju ditunjang oleh perkembangan kota yang bijak, akan membawa
Indonesia ke arah masa depan yang lebih gemilang. Untuk itu mari kita
wujudkan seluruh mimpi-mimpi tersebut, mumpung belum terlambat.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja
Sumber http://www.kemenkeu.go.id
0 comments :
Posting Komentar