Sabtu, 28 Juni 2014

Jalan penuh tantangan menuju konsolidasi demokrasi

http://wapresri.go.id/uploads/111115_meninjau%20KTT%202_web.JPG
Wapres Boediono
Disampaikan pada Sidang Pleno Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XIV
Bandung, 20 Juli 2010

1. Beberapa waktu terakhir ini saya mencoba mengikuti literatur mengenai bagaimana demokrasi dikonsolidasikan di berbagai negara.  Mengapa berhasil di sebagian negara dan mengapa tidak di negara-negara lain. Saya merasa hal ini penting karena sistem politik yang mantap adalah landasan bagi kemajuan ekonomi yang berkelanjutan.  Pada gilirannya kemajuan ekonomi berkelanjutan adalah prasyarat mutlak bagi dimungkinkannya kesejahteraan, martabat dan kecerdasan rakyat yang terus meningkat, yang pada gilirannya akan membuat sistem politik makin matang dan makin berakar.  Virtuous circle seperti inilah yang menurut hemat saya telah dilalui oleh bangsa-bangsa yang sekarang berhasil maju. Mengenai sistem politik yang mana yang cocok untuk kemajuan bangsa yang berkelanjutan, saya sendiri berpendapat bahwa sistem itu adalah demokrasi. Tentu, demokrasi yang dilaksanakan dengan benar. Bagi saya, demokrasi adalah sistem yang dapat terpenuhinya falsafah “Manunggaling Kawulo Gusti”, menyatunya kehendak rakyat dengan kehendak penguasa.   Sebagian lain bangsa-bangsa tidak beruntung; mereka seakan berjalan di tempat, selalu mengulang siklus sejarahnya tetapi tidak mengalami kemajuan.  Mereka ini terperangkap dalam semacam eternal circle yang tak berujung.  Sebagian lain lebih tidak beruntung dan terseret oleh vicious circle menuju kemunduran dan bahkan akhirnya menjadi bagian dari kuburan sejarah.

2. Kita tentu bertekad untuk menjadi bangsa maju.  Ini berarti kita harus bersedia memenuhi segala syarat dan prasyarat bagi bangsa seperti itu.  Salah satu pertanyaan yang saya ingin mencari jawabannya dalam literatur adalah hal-hal apa saja yang harus kita waspadai dan hindari agar kita tidak terperangkap ke dalam eternal circle atau vicious circle.  Ternyata saya jumpai bahwa variasinya banyak dan kompleksitas kombinasi faktor-faktor penyebab kegagalan beragam.  Nampaknya apabila kita mencari jawaban yang spesifik bagi masing-masing negara, kita harus mengidentifikasi keunikan kondisi masing-masing.  Namun dalam kesempatan ini saya ingin menggarisbawahi dua faktor yang dari waktu ke waktu muncul dalam pengalaman berbagai negara.  Kedua faktor itu saya sebut sebagai “2D”, disfungsionalitas dan degenerasi DEMOKRASI.

3. Uji terakhir dari suatu sistem politik, termasuk demokrasi, adalah apakah ia dapat memberikan manfaat berupa peningkatan kesejahteraan dan keadilan pada rakyat.  Demokrasi yang disfungsional atau tidak berjalan pasti tidak memberikan manfaat bagi rakyat dan sering diikuti oleh timbulnya delegitimasi atau hilangnya kepercayaan rakyat terhadap sistem itu.  Sistem politik baru kemudian muncul dan tidak jarang ia juga ternyata disfungsional.  Sistem yang baru lagi kemudian menggantikannya. Demikian  seterusnya.  Eternal circle!
4. Kondisi seperti itu disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat mendasar dan tidak bisa diatasi sekedar dengan mengutak-atik segi-segi formal sistem politik.  Perwujudan dari faktor-faktor mendasar itu bisa beragam, tetapi muaranya terletak pada lemahnya komitmen para elit bangsa untuk membuat sistem yang disepakati berjalan dan berhasil.  Sejarah politik di Amerika Latin, Afrika dan sebagian Asia mencatat contoh-contoh nyata yang pernah terjadi.  Di negara kita sendiri, eksperimen demokrasi parlementer di tahun 1950-an tidak berhasil karena sistem politik disfungsional, tidak dapat memberikan manfaat nyata yang dirasakan oleh rakyat.  Kabinet jatuh bangun, ada yang berusia hanya 3 bulan.  Proses demokrasi berjalan, masing-masing bermain demokrasi dengan sasaran dan tujuan politik masing-masing.  Demokrasi semarak, tetapi ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang hilang itu adalah tidak ada komitmen bersama yang solid untuk membuat sistem itu makin mantap dan berlanjut. Kebanyakan ingin langsung bertarung di arena demokrasi, tapi sedikit yang menyisihkan waktu dan memberikan komitmen untuk menata sendi-sendi dasar demokrasi yang masih muda itu.  Pada masa itu tidak ada kabinet yang mampu melaksanakan kebijakan ekonomi yang berkelanjutan dan efektif.  Rakyat kecewa dan rejim mengalami delegitimasi.  Rakyat kemudian menerima dengan entusias rejim baru yang ditawarkan, demokrasi terpimpin.  Sayangnya, sistem yang baru itu ternyata juga disfungsional.
5. “D” yang kedua, degenerasi, adalah menurunnya kualitas proses demokrasi secara gradual tetapi pasti.  Muara dari proses ini adalah tergantinya demokrasi dengan sistem lain yang non-demokratis seperti oligarki dan otoriter.  Tetapi prosesnya lebih lama, tidak terlalu kentara, berupa erosi dari dalam sistem, dan tidak terasa tanpa kepekaan ekstra para pelakunya.  Lagi, perwujudan dari fenomenon degenerasi ini beragam karena faktor penyebab utamanya tidak tunggal.  Tapi perkenankan saya pada kesempatan ini mengupas satu bentuk degenerasi yang, meskipun bukan satu-satunya, banyak dijumpai dalam pengalaman konsolidasi demokrasi di berbagai negara.  Sumber permasalahannya berasal dari bercampur-aduknya kepentingan privat dan kepentingan publik, dan biasanya kepentingan umum yang terkorbankan.

6. Kondisi yang paling parah apabila pejabat publik, di cabang kenegaraan manapun, mempunyai dan mengutamakan kepentingan pribadinya atau kepentingan sempit lainnya dalam menunaikan tugas publiknya.  Dalam situasi seperti itu, dimana kewenangan publik dan kepentingan privat berada di satu tangan, kebijakan publik dan keputusan publik akan rawan terhadap kontaminasi kepentingan-kepentingan sempit.  Sementara itu pelaksanaannya di lapangan pun mudah dibengkokkan demi menampung kepentingan-kepentingan tertentu.  Sebaliknya, di institusi-institusi yang semestinya berada di domain privat, seperti pasar modal, perbankan, tender proyek, kontrak antar bisnis dan lain-lain, akan rawan terhadap intervensi publik yang dibaliknya ada kepentingan-kepentingan perorangan atau kelompok.  Modus serupa dalam bentuk terselubung melalui perantara atau jaringan tidak langsung lebih sulit terdeteksi, tetapi konsekuensinya sama yaitu merugikan kepentingan umum.  Bentuk lain dari praktik serumpun adalah menggunakan kewenangan publik dengan imbalan uang alias komersialisasi jabatan.  Ini adalah korupsi dan implikasinya adalah menurunnya kualitas dan efektivitas kebijakan publik yang dampaknya jauh lebih luas dan lebih besar daripada nilai uang imbalan tadi.

7. Pengalaman berbagai negara juga menunjukkan bahwa kepentingan umum dapat terkorbankan atau tersisihkan oleh kepentingan perorangan atau kepentingan kelompok karena praktik yang terjadi di domain politik.  Praktik ini adalah money politics, yaitu menjual suara (untuk memilih seseorang atau menggolkan sesuatu) demi imbalan uang.  Apabila “mekanisme pasar” seperti itu merasuk ke ranah politik maka demokrasi kehilangan alasan eksistensinya, kehilangan raison d’etre-nya.  Begitu suara rakyat dikemas menjadi komoditi ekonomi yang ditawarkan to the highest bidder, (ingat ungkapan Vox Populi Vox Dei!) maka demokrasi kehilangan landasan idealnya.

8. Perkenankan saya menyebutkan satu lagi fenomenon yang perlu diwaspadai apabila kita ingin menjaga kualitas dan efektivitas kebijakan publik, yang pada gilirannya ikut menentukan kualitas kinerja sistem politik secara keseluruhan.  Fenomenon itu adalah politisasi birokrasi.  Birokrasi harus tunduk kepada keputusan politik.   Tetapi di dalam birokrasi itu sendiri prosesnya haruslah bersifat administratif, profesional, teknis dan obyektif.  Birokrat tidak boleh main politik dalam melaksanakan tugasnya.  Dan sebaliknya, politisi jangan pula menyeret-nyeret birokrat ke kancah politik. Interaksi yang tidak sehat antara birokrasi dan politik mempunyai akibat sistemik yang serius, yaitu birokrasi yang berkinerja rendah dan korup.  Apabila mesin penggerak utama pemerintahan tidak berjalan baik, kita tidak bisa mengharapkan pemerintahan dan sistem politik yang menghasilkan manfaat bagi rakyat.  Delegitimasi hanya menunggu waktu.

9. Marilah kita rekapitulasi apa-apa yang telah kita bahas:
a. Jalan menuju konsolidasi demokrasi penuh kerawanan.  Kewaspadaan dan komitmen bersama kita diperlukan untuk melewatinya dengan selamat.
b. Demokrasi dalam masa konsolidasi terancam dua kerawanan, “2D”, yaitu Disfungsionalitas dan Degenerasi.
c. Sumber utama disfungsionalitas adalah tidak adanya komitmen solid diantara elit politik untuk membangun bersama sendi-sendi dasar dan aturan-aturan dasar yang membentuk demokrasi yang bisa menjadi landasan kemajuan bangsa yang berkesinambungan.
d. Demokrasi dapat mengalami degenerasi antara lain karena: penyalahgunaan kewenangan publik dan korupsi, money politics dan politisasi birokrasi.
e. Pengalaman berbagai negara di berbagai waktu, termasuk pengalaman negara kita sendiri, memberikan butir-butir pelajaran yang jelas. 

Akhirnya terpulang kepada kita semua, anak-anak bangsa, lebih khususnya elit politik bangsa, apa yang sebenarnya kita mau dengan demokrasi yang kita punyai sekarang.  Komitmen kita-lah yang akan menentukan perjalanan negara kita dan itu pula lah yang akan dicatat oleh anak-cucu kita.

10. Sebagai penutup, saya ingin mengajak kita mengingat sekelumit peristiwa sejarah.  Di abad 18 ada dua revolusi besar yang terjadi berdekatan waktu, yaitu Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1789).  Revolusi Amerika, berkat kesadaran kolektif dan komitmen yang kuat dari para elit bangsa untuk segera meletakkan sendi-sendi dasar negara, menghasilkan suatu demokrasi muda yang penuh vitalitas.  Revolusi Perancis, karena para elit-nya terhanyut euforia revolusi, memberi Perancis Napoleon Bonaparte. 

0 comments :