Suksesi Pemerintahan

Sumpah Presiden

Di saat di sejumlah negara seperti Mesir, Irak, Libya, Suriah, Ukraina, dan terakhir negara tetangga kita Thailand mengalami konflik berdarah akibat pemilu di dalam negerinya. Bahkan negara demokrasi seperti India pun tak luput dari kekerasan berdarah disaat penyelenggaraan pemilu. Maka pada 9 April 2014 lalu, bangsa kita berhasil melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD Provinsi/Kabupaten serta Kota.  Pemilu Legislatif berlangsung cukup kondusif dalam konteks stabilitas politik. Isu yang tersisa adalah cerita praktik 'money politics' yang amat transaksional, tapi sulit dibuktikan karena merupakan praktik tersembunyi. Ada sejumlah politisi, intelektual, dan masyarakat umum menyebut Pemilu Legislatif kali ini sebagai Pemilu paling brutal sepanjang sejarah Pemilu Legislatif dari aspek 'money politics'.

Selanjutnya pada 9 Juli 2014 mendatang, kita akan melaksanakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagai agenda konstitusional yang akan mengantarkan bangsa ini menuju  suksesi pemerintahan dari Presiden SBY kepada Presiden terpilih nanti, 20 Oktober 2014. Tentunya, seperti Pemilu Legislatif, kita berharap bahwa Pemilu Presiden/Wakil Presiden 2014 ini terlaksana dan sukses tanpa praktik 'money politics' agar pemerintahan yang terpilih kelak dapat mencerminkan pemerintahan yang bersih. Dapat diprediksi, Pemilu ini amat ketat dan kompetitif karena hanya ada dua pasang yang akan memperebutkan kursi Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, Pemilu yang ketat dan berlangsung secara demokratis tanpa manipulasi justru merupakan substansi dari kualitas demokrasi itu sendiri, sehingga tidak perlu mencemaskan. 

Sebagai negara yang menganut paham demokrasi, kita tidak perlu terlalu khawatir  berlebihan dengan pelaksanaan agenda politik karena kita punya perangkat konstitusi negara yang cukup memadai untuk menjaga stabilitas politik. Lagi pula, bangsa ini sudah teruji dalam berbagai episode sejarah. Sejak reformasi kita telah berhasil melaksanakan agenda politik secara konstitusional, transisi politik pemerintahan yang diantarkan Presiden Habibie cukup landai, hampir semua perangkat undang-undang yang diperlukan untuk agenda reformasi berhasil diselesaikan, padahal waktu itu banyak pihak menyatakan bahwa negeri ini akan menjadi negara gagal dan terpecah-pecah akibat krisis ekonomi, politik, dan konflik etnis yang terjadi di berbagai daerah.

Demikian pula rentetan agenda politik konstitusional dan peristiwa politik setelahnya, misalnya impeachment Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR, rentetan peledakan bom gerakan teroris yang cukup dahsyat di era Presiden Megawati, tsunami maha dahsyat di Aceh dan konflik politik Aceh dengan Pemerintah Pusat di era Pemerintahan SBY serta kasus-kasus besar dan kasus kemanusiaan lainnya. Meskipun bangsa ini dalam kondisi tertekan, terancam, dan ditakut-takuti oleh banyak pihak akan ambruknya negeri ini sebagai satu negara-bangsa, namun semua masalah besar itu dapat kita selesaikan dengan baik.

Itulah illustrasi ringkas sejarah reformasi bangsa ini, bahwa sesungguhnya kita sebagai negara-bangsa sudah teruji melalui berbagai rintangan. Justru yang perlu kita angkat sekarang sebagai negara-bangsa adalah tema dalam konteks penyelenggaraan negara ke depan, yaitu bagaimana suksesi politik pemerintahan dan keberlanjutan pembangunan nasional yang akan datang dapat berlangsung dengan terarah dan produktif.

Hal ini perlu menjadi perhatian, karena ada gejala bahwa setiap pergantian pemerintahan nasional di negeri ini selalu saja menampilkan “Pemerintahan Aku”. Mengubah arah kebijakan yang telah ditempuh pemerintahan sebelumnya meskipun kebijakan itu tepat dan telah berjalan dengan baik. Arogansi elit politik sering muncul seiring dengan terbentuknya pemerintahan baru, yaitu “yang penting beda”. Itulah yang seringkali kita saksikan dalam praktik politik pemerintahan kita sehingga bangsa ini berjalan tertatih karena perubahan-perubahan kebijakan yang mudah sekali dilakukan sesuai selera elit tanpa alasan yang jelas. Sejalan dengan fenomena tersebut, sekarang ini kita sedang menyaksikan janji-janji kampanye yang amat berlebihan, tidak realistis sesuai dengan kondisi politik dan kemampuan ekonomi kita. Tanpa mereka menyadari bahwa janji berlebihan hanya akan menjadi malapetaka di saat mereka terpilih dan menjalankan pemerintahan nanti. 

Belajar dari pengalaman bangsa-bangsa lain seperti Malaysia di era pemerintahan Mahathir Mohammad dengan New Economic Policy (NEP) yang berbasis tahap-tahap kebijakan dan target pencapaian. Konsep pemerintahan dan pendekatan pembangunan tersebut tetap dipertahankan oleh kepala pemerintahan setelahnya hingga Najib Razak sekarang, yang terjadi adalah penajaman program sehingga arah pembangunan bangsanya berjalan dengan arah yang jelas dan pasti. Demikian pula halnya dengan suksesi politik pemerintahan di Amerika Serikat, Eropa, Asia Timur, dan bangsa-bangsa maju lainnya.

Itulah yang perlu mendapat perhatian serius dari semua elit politik yang berlaga dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 ini, agar ke depan kita sebagai bangsa tidak terlalu banyak membuang energi “hanya sekedar untuk tampil beda tanpa perbedaan substansi”, tapi sesungguhnya kita terus kehilangan waktu dan kesempatan untuk mendorong sistem pembangunan yang lebih cepat dengan program ekonomi kerakyatan, partisipatif, dan pelayanan publik yang makin baik dari periode kepemimpinan ke periode selanjutnya. Semoga !!!!....

Sumber  http://setkab.go.id